Posts Tagged ‘yogyakarta’

Jadikan Aku Yang Kedua

7 Januari 2011

……, karena yang pertama nggak jadi.

Yogyakarta, 18 December 2010
Yusuf Iskandar

Catatan Harian Untuk Merapi

28 Desember 2010

Pengantar :

Tidak seperti ketika kota Yogyakarta dilanda bencana gempa tahun 2006, waktu itu saya sempat menuliskan catatan bersambung dan saya kirimkan ke teman-teman melalui milis/email. Kali ini saya tidak sempat membuat catatan khusus secara bersambung tentang bencana meletusnya gunung Merapi. Kebetulan saya sedang berada di luar daerah ketika Merapi pertama kali meletus tanggal 26 Oktober 2010, sehingga saya hanya sempat membuat catatan-catatan kecil di handphone.

Selain itu, sejak ada fasilitas media jejaring sosial bernama Facebook, saya merasa lebih enjoy dengan menuliskan penggalan-penggalan catatan berupa status di Facebook. Alasan utamanya, lebih mudah dan praktis untuk saya lakukan kapan saja, dimana saja dan sambil apa saja, tanpa saya harus membuka laptop.

Akan tetapi menyadari bahwa tidak semua teman saya memiliki akun di Facebook, maka terpikir untuk mengumpulkan catatan status Facebook saya, untuk saya share melalui milis/email. Catatan-catatan pendek yang lebih menyerupai catatan harian tentang aktifitas, pikiran, renungan, termasuk guyonan saya terkait bencana meletusnya Merapi ini sepertinya dibuang sayang. Lalu kemudian saya susun dalam beberapa seri setelah saya edit penulisan ejaannya agar lebih enak dibaca. Semoga dapat menjadi bacaan selingan yang menghibur, syukur-syukur membangkitkan empati.

Di Stasiun

11 Juni 2010

Di stasiun
aku dengar lagu kesayanganku…

Begitu nyanyian alm. Farid Harja (versiku sore ini). Dan lagu yang kudengar itu adalah “Yogyakarta” oleh KLA Project di layar monitor stasiun.

Entah kenapa akhir-akhir ini saya suka dapat misi khusus menyelamati jalan, eh menyelamat-jalani orang-orang yang pergi naik sepur dari stasiun Tugu, Jogja. Meski harus nunggu lama, tapi selalu ada harapan ‘masih ada kereta yang akan lewat’, seolah berkata: “never give up…”

Yogyakarta, 10 Juni 2010
Yusuf Iskandar

Pelataran Kraton Yogyakarta

9 Juni 2010

Pelataran dalam Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat, Yogyakarta

Yogyakarta, 1 Juni 2010
Yusuf Iskandar

Kudu Nesu

3 Maret 2010

Wooo… PLN kurang asem tenan! Pekerjaan belum sempat di-save je…, listriknya sudah dimatikan… Berarti lain kali strateginya harus saya ubah, pekerjaan dimatikan dulu baru listriknya di-save… [Judulnya: www.kudu-nesu.com].

(Menjelang tengah malam listrik PLN tiba-tiba mati untuk waktu yang cukup lama di wilayah Umbulharjo, Yogyakarta – Note : kudu nesu, bahasa Jawa berarti : ingin marah)

Yogyakarta, 2 Maret 2010
Yusuf Iskandar

Pak Satpam Bandara

18 Februari 2010

Boarding belakangn, rada sepi. Seorang Satpam tiba-tiba mendekat dan berkata pelan: “Rokoknya pak”.
Karena saya rasa kata-kata ini aneh, sy balik tanya memastikan: “Apa pak?”.
Pak Satpam menjawab: “HP-nya tidak ketinggalan pak?”.
Spontan saya jawab: “Oo tidak pak”.

Sambil berjalan menuju pesawat saya berpikir: “Kok sepertinya aneh!”. Sesaat kemudian baru saya ‘ngeh’. …”Eee… alah, pak Satpam, pak Satpam…, caramu kurang manis utk mengharap kebaikan org lain…”.

(Peristiwa ini terjadi di bandara Adisutjipto, Yogyakarta, Gate 1, sewaktu boarding Lion Air menuju Jakarta)

Jakarta, 17 Pebruari 2010
Yusuf Iskandar

Sate Pak Kromo

15 Februari 2010

Ujuk-ujuk istriku mengajak makan di luar dan pilihannya adalah ‘Sate Pak Kromo’ (yang ternyata kesimpulannya : “satemu tak seenak dulu lagi…”). Telanjur ge-er aku, saya pikir karena suaminya lagi enggak enak badan lalu istri mengajak makan enak di luar. Eh, enggak tahunya karena makanan di rumah habis…

(Sate ayam Pak Kromo berlokasi d Jl. Sultan Agung, barat keratin Pakualaman, Yogyakarta)

Yogyakarta, 14 Pebruari 2010
Yusuf Iskandar

Oleh-oleh Nasi Kucing

8 Desember 2009

Pulang dari toko, istriku bawa oleh-oleh untuk makan malam, yaitu beberapa bungkus nasi kucing @ Rp 1000,-. Kata istriku: “Itu juga rebutan…” (sama pembeli lain, bukan sama kucing…!)

Yogyakarta, 6 Desember 2009
Yusuf Iskandar

Berimprovisasi Di Warung Soto Pak Marto Jogja

21 November 2009

Dalam perjalanan mengantar istri ke tokonya, tiba-tiba beliau mengajak berhenti mampir ke Warung Soto Pak Marto di Jl. Janti Jogja. “Lapar”, katanya singkat. “Sama”, jawab saya juga singkat. Sebelumnya memang sudah beberapa kali kami mampir ke warung soto ini. Lokasinya di jalan utama masuk Jogja dari sisi tenggara, tepatnya di seberang agak ke barat dari balai Jogja Expo Center (JEC), memang cukup strategis. Mudah dicari dan dihampiri.

Siang itu suasana warung agak ramai karena ada rombongan bis besar yang juga berhenti makan siang. Meski bernama warung, tapi tampilannya sebenarnya cukup megah. Barangkali sebutan warung dimaksudkan untuk mengenang masa-masa almarhum Pak Marto merintis usahanya sebagai tukang soto lebih 25 tahun yll. di lokasi itu. Ketika itu penggal ke barat jalan Janti masih menjadi kawasan jin buang anak (hasil hubungan gelap barangkali…) alias ndeso, sepi dan masih berupa jalan desa.

Seputaran tahun 1983 Pak Marto memulai bisnis sotonya. Semakin hari sotonya semakin dikenal dan menjadi jujukan para penyoto (penggemar soto) dari kawasan sekitarnya. Namun sayang, Pak Marto tidak sempat lama menikmati sukses dari hasil kerja kerasnya. Tahun 1995 Pak Marto berpulang, lalu disusul Bu Marto sekitar dua tahun kemudian. Kini bisnis sotonya masih terus berkibar dan dilanjutkan oleh generasi kedua dan ketiganya. Seperti warung soto yang di Jl. Janti itu kini dikelola oleh salah seorang cucunya. Sementara Warung Soto Pak Marto pun semakin merambah membuka cabangnya di berbagai kota.

Rasa sotonya sebenarnya biasa saja. Kalau kategori rasa itu boleh diskala jadi tiga: pertama enak, kedua enak banget, dan ketiga hoenak tenan….., maka soto Pak Marto termasuk enak. Jenis sotonya adalah soto daging sapi, cuma dagingnya kurang full, masih setengah-setengah…… Saya dapat memakluminya kalau alasannya karena harga jualnya yang semangkuk Rp 7.000,-disesuaikan dengan harga beli daging sapi di pasar.

Seperti umumnya warung makan di Jogja, maka selalu ada asesori kecap manis disediakan. Rupanya di warung ini tidak memilih kecap terkenal yang katanya dibuat dari kedelai hitam, melainkan kecap lokal cap Ayam yang kecapnya kental dan lebih terasa manis gulanya ketimbang kedelainya. Meski demikian, kalau lagi berada di sisi tenggara Jogja, warung soto Pak Marto ini bisa jadi pilihan untuk petualangan kuliner soto-menyoto. Nama besar Pak Marto seolah menjadi jaminan para penggemar soto.

***

Di warung itu kami mengambil tempat duduk yang dekat jalan masuk, karena kebetulan tempat itu yang kosong. Sambil menikmati hangatnya sruputan kuah soto yang bening menyegarkan, lalu datang seorang pengamen memainkan alat musiknya yang sangat sederhana. “Icik-icik” namanya. Sejenis alat musik seadanya terbuat dari kayu yang dilengkapi entah apa, sehingga kalau digoyang-goyang berbunyi “icik-icik”…. Pengamen itu adalah seorang bapak tua yang jalannya sudah agak membungkuk berbaju warna hijau pupus lusuh. Jelas bukan memainkan lagu. Tanpa intro, tanpa reffrain dan bukan juga lupa syairnya, melainkan sekedar irama musik monoton yang baru bisa berhenti setelah disodori uang.

Satu menit, dua menit…. Musik itu masih berbunyi. Sementara tidak seorangpun pelayan warung yang perduli, saking sibuknya mondar-mandir melayani pengunjung warung yang lagi ramai. Padahal yang diharapkan oleh pengamen itu barangkali hanya sekedar uang cepek-nopek. Kalau sesekali ada yang memberi koin gopek, sudah sangat berterima kasih.

Tiga menit, empat menit….. Belum juga ada orang warung yang memperdulikannya. Mulailah pikiran kreatif saya yang sedang kelebihan energi positif menangkap peluang. Ya, peluang untuk sedikit berimprovisasi spontan mengambil alih kepedulian terhadap bapak tua pengamen “icik-icik” itu. Lalu saya hampiri pengamen tua itu sambil saya sodorkan selembar ribuan. Benar juga, musik langsung berhenti dan pengamen tua itu ngeloyor pergi sambil berterima kasih. Mission accomplished. Saya pun duduk kembali, melanjutkan nyruput soto, tanpa sepatah kata pun pembicaraan tentang pengamen tua melainkan melanjutkan ngobrol dengan istri yang tadi terputus sebentar.

Usai nyoto, becanda sebentar dengan cucunya Pak Marto, lalu beranjak meninggalkan tempat parkir. Entah datang energi positif dari mana, tahu-tahu terpikir untuk melakukan improvisasi tahap kedua. Membuka kaca mobil sebelah kanan (kalau sebelah kiri terlalu jauh…..), lalu menyodorkan uang parkir dalam satuan agak besar. Ketika tukang parkir separuh baya itu hendak mengambil kembaliannya, segera saya berbisik : “Tulung turahane diwenehke anake njenengan….(tolong sisanya diberikan kepada anak Bapak)”.

Segera tancap gas, tanpa sepatah kata pun pembicaraan tentang tukang parkir itu melainkan ngobrol lain dengan istri. And another mission accomplished. Begitu saja. Lalu perjalanan pun dilanjutkan menuju toko di Madurejo, kecamatan Prambanan, Jogja.

Just a simple improvisation in my life. Saya sedang membicarakan nominal uang yang relatif tidak seberapa dibanding harga soto yang barusan saya santap dan rokok yang saya hisap. Tapi dipastikan manfaatnya sangat besar bagi orang-orang yang sedang membutuhkan. Saya sendiri heran, kenapa sangat jarang saya melakukan hal-hal kecil seperti ini. Tepatnya, jarang terpikir untuk lebih sering melakukannya. Padahal jumlah uang yang saya libatkan dalam improvisasi kecil semacam itu sama sekali tidak akan mengganggu roda ekonomi dan kehidupan saya maupun keluarga saya. Tapi berat rasanya untuk sering-sering melakukannya. Butuh dorongan kuat untuk merangsang bangkitnya energi positif yang nilai manfaatnya luar biasa, tanpa saya sadari wujudnya.

Yogyakarta, 22 Nopember 2009
Yusuf Iskandar

Surprise! Perpanjangan SIM Kurang Dari Sejam

15 November 2009

Hari ini saya menyempatkan memperpanjang SIM A saya yang sudah habis masa berlakunya sejak tiga bulan yang lalu. Pertama, terlambat karena lupa. Kedua, semakin terlambat karena belum ada kesempatan.

Sejak berangkat dari rumah saya sudah membayangkan apa yang bakal terjadi di kantor Lalulintas, Poltabes Yogyakarta. Tiba di tempat parkir akan disongsong oleh para calo yang berbaik hati akan membantu menguruskan perpanjangan SIM. Di kawasan kantor juga akan ketemu oknum polisi yang juga akan menawarkan jasanya, belum lagi calo (kalau calo tidak perlu disebut oknum) yang midar-mider mencari calon klien. Setelah itu menunggu lama hingga siang hari saat mengambil SIM baru. Itu pengalaman saya terakhir memperpanjang SIM C di tempat yang sama.

Namun apa yang saya alami tadi pagi sungguh di luar bayangan saya. Benar-benar saya dibuat surprise. Begitu memarkir sepeda motor, tidak seorangpun menghampiri saya, kecuali tukang parkirnya tentu. Masuk ke halaman dalam, suasana kompleks perkantoran sudah sangat berubah. Rupanya belum lama selesai dilakukan renovasi. Tampak luas, bersih dan enak dipandang. Karena itu wajar kalau saya tolah-toleh harus menuju ke bagian mana. Juga tidak tampak orang-orang yang biasanya lincah menawarkan jasanya.

Sampai akhirnya saya berdiri di depan Loket 1 bagian informasi. Dengan ramah petugas disana memberitahu agar lebih dahulu memfotokopi KTP dan SIM lama, lalu periksa dokter. Pak dokter pun memeriksa tekanan darah dan melakukan test buta warna. Saya dinyatakan sehat dan membayar biaya pemeriksaan Rp 20.000,- (ini biaya resmi).

Lalu menuju Loket 2 bagian pembayaran. Sesuai ketentuan yang pengumumannya terpasang di dinding, maka untuk perpanjangan SIM biayanya (hanya) Rp 60.000,-. Sedangkan bagi permohonan SIM baru biayanya (juga hanya) Rp 75.000,-.

Kemudian semua berkas dikembalikan dalam sebuah map warna biru, termasuk formulir yang harus diisi. Selanjutnya menuju Loket 3 untuk menyerahkan berkas. Disini saya disodori sebuah angket isian yang merupakan formulir penilaian atas kinerja Bagian Pelayanan SIM.

Tidak lama lalu dipanggil ke Loket 4 untuk tanda tangan, pengambilan foto dan sidik jari. Akhirnya dipanggil untuk mengambil SIM baru yang berlaku lima tahun.

Segera saya lihat jam di ponsel (maklum karena saya tidak biasa pakai arloji). Sejak pertama kali tadi saya sampai di depan Loket 1 hingga saya meninggalkan Loket 4, ternyata kurang dari sejam.

Ini sungguh luar biasa! Seperti tidak percaya, tiba-tiba saya harus pulang dengan sudah mengantongi SIM A saya. Memang hari ini masyarakat yang memerlukan pelayanan SIM tidak sepadat hari biasanya. Tapi menilik pola kerja yang tergolong efektif, lancar dan bersahabat, kalaupun padat, kiranya itu hanya masalah menunggu antrian saja. Bukan karena faktor “lain”. Rasanya pantas kalau unit pelayanan SIM di Poltabes Yogyakarta memperoleh penghargaan setinggi-tingginya atas peningkatan sistem pelayanannya.

Saya tidak menyesal telah menuliskan komentar dalam angket penilaian seperti ini : “Surprise dan penghargaan setnggi-tinginya atas perubahan/peningkatan pelayanan yang luar biasa”. Tentu, masyarakat Yogya berharap agar pelayanan yang sudah sangat baik itu dapat dipertahankan. Jangan sampai, pujian saya berubah menjadi penyesalan, jika ternyata di belakang hari nanti kembali bermetamorfose ke pola yang lama. Uh, sayang sekali kalau sampai hal itu terjadi.

***

Total biaya yang saya keluarkan hanya Rp 80.000,- Kurang asuransi yang tidak saya bayar. Hal itu karena selama proses pengurusan tadi tidak ada yang memberitahu bahwa ada pilihan untuk ikut asuransi yang besar preminya (hanya) Rp 16.000,- Saya pikir, akan dibayar pada tahap akhir nantinya.

Hanya saja, ketika akan mengambil SIM yang sudah jadi, mbak Polwan yang ada di situ bertutur dengan manis, ramah dan berbisik : “Biaya untuk laminating lima ribu rupiah, pak”. Saya pun tersenyum memaklumi, dalam hati. Kalau mau menolak sebenarnya bisa, wong tidak ada aturannya. Tapi, sungguh saya tidak tega menolaknya, setelah menerima pelayanan yang menurut ukuran saya secara keseluruhan sangat memuaskan.

Dengan senang hati dan ikhlas, saya tinggalkan selembar lima ribuan di meja si mbak Polwan. Bagaimanapun juga mbak Polwan dan rekan-rekan setimnya sudah menunjukkan pola kerja yang mengagumkan. Sekali lagi, saya hanya bisa berharap semoga pelayanan yang seperti itu bisa awet, langgeng dan (Insya Allah) mberkahi bagi siapa saja.

Sebelum meninggalkan halaman parkir, saya terusik untuk tahu lebih banyak tentang peningkatan pelayanan yang ada di lingkungan Poltabes Yogya, yang menurut informasi perubahan dan perbaikan pelayanan itu sudah berjalan sejak sebulan terakhir. Lalu saya datangi pak Polisi yang jaga di gardu pelayanan masyarakat yang berada paling depan.

Namun sayang, petugas yang saya tanya terkesan agak ogah-ogahan menjawab pertanyaan saya untuk menjelaskan segala sesuatunya. Jangan-jangan saya dikira wartawan sehingga beliau agak takut. Entahlah. Sambil senyam-senyum pak Polisi itu menjawab sepotong-sepotong. Padahal tadinya saya berharap pak Polisi itu akan memberi penjelasan dengan meyakinkan dan penuh percaya diri, dan dengan bangga atas perbaikan kinerja pelayanan di lingkungan instansinya.

Meskipun saya tidak mau su’udzon (berprasangka buruk), tapi jangan-jangan pak Polisi itu adalah representasi dari “ketidak-ikhlasan para oknum” atas perubahan yang terjadi? Mudah-mudahan pikiran saya salah. Maaf pak Polisi…..

Yang sebenarnya, mestinya itu adalah peluang bagi pak Polisi (mewakili instansinya) untuk melakukan “marketing” kepada salah satu “customer”-nya. Atau peluang untuk “meyakinkan dan menjual produk yang terbukti berkualitas”, guna menjaga kepuasan pelanggannya. Atau minimal untuk membangun image tentang arti penting persahabatan (dengan masyarakat yang dilayani).

Tapi rupanya memang tidak mudah menjalankan misi yang semacam ini. Untungnya, pak Polisi yang pagi itu saya temui, masih “mau” tersenyum menjawab pertanyaan-pertanyaan saya yang (mungkin) rada aneh bagi beliau.

Sekali lagi, terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas perbaikan kinerja pelayanan SIM di Poltabes Ngayogyokarto Hadiningrat.

Yogyakarta, 24 Desember 2007
Yusuf Iskandar

Sesuatu Yang ‘Luar Biasa’

15 November 2009

Terkadang sesuatu yang ‘luar biasa’ dapat terjadi tiba-tiba, tanpa pernah terbayangkan, termimpikan, apalagi terencanakan… (kalau direncanakan berarti tidak luar biasa…..). Bukan sesuatunya yang membuat saya tertegun (ya ada…., sedikitlah…), melainkan untuk kesekian kali saya harus menyanjung dan memuji Tuhan bahwa beliau memang ruarrr biasa. Puji Tuhan wal-hamdulillah….. Maha Suci Allah……

Yogyakarta, 14 Nopember 2009
Yusuf Iskandar

Stroke

7 Oktober 2009

Malam ini menjenguk seorang teman yang terkena stroke. Terlihat ingin banyak berkata dan bercanda, apa daya mulut tidak mampu diajak bekerjasama. Betapa tidak mudahnya menjaga semangat untuk kembali seperti sedia kala. Teriring doa semoga Tuhan berkenan memberi kesempatan kedua…..

(Mas Herry ‘Tuyul’, semoga lekas sembuh…. Amin)

Yogyakarta, 5 Oktober 2009
Yusuf Iskandar

“Manna Janjimu…?”

1 Oktober 2009

Hari masih pagi. Noval, 15 tahun, baru bangun tidur akibat kecapekan karena kemarinnya baru pulang dari mendaki gunung Lawu. Bersama empat orang teman sekolahnya Noval mencapai puncak gunung Lawu pada Sabtu akhir pekan lalu, sehari sebelum hutan Lawu terbakar. Dia tidak mau mengngaku kalau dituduh pendakian silaturrahim lebaran ke Lawu ini pasti odo-odonya (idenya). Ini pendakian ke Lawu yang kedua, pendakian pertamanya satu setengah tahun yll. ditemani bapaknya.

Sejak lebaran H-0 (1 Syawal, teng…!) dia sudah mulai kasak-kusuk sama ibunya. “Kapan ke dealer?”, katanya. Pasalnya, deal waktu awal Ramadhan dengan bapaknya rupanya diingat betul, bahwa kalau bisa khatam tadarus Qur’an dua kali selama Ramadhan disetujui akan dibelikan sepeda motor untuk sekolah (judul resminya begitu, tidak resminya ya untuk dolan….). Dan, dia berhasil memenuhi kesepakatan menyelesaikan dua kali membaca buku bertuliskan huruf Arab yang belum dipahami maknanya itu, kecuali ayat yang pertama.

Lebaran sudah lewat seminggu dan di televisi tersiar arus balik para pemudik sepeda motor yang terlihat ramai-lancar-padat-merayap kembali ke ibukota, tapi belum juga ada tanda-tanda pemenuhan janji bapaknya. Begitu mungkin pikirnya. Padahal sekolah sebentar lagi dimulai, sementara teman-temannya sering pada datang ke rumah membawa sepeda motor. SIM juga telanjur sudah dimiliki meski harus nombok umur karena kurang dua tahun.

Berkali-kali sindirannya terceplos melalui omongannya : “Kapan nih kita ke dealer…”. Berkali-kali pula bapaknya menjawab : “Sabar to, Le…. Toko sepeda motornya masih pada tutup…”, jawab bapaknya asal-asalan karena tidak mau diburu-buru.

Rupanya kesabaran Noval semakin njegrak ke ujung rambutnya. Jangan-jangan setan Lawu yang ikut ke rumah turut memprovokasinya. Meski mata masih dikucek-kucek habis balas dendam tidur panjang sepulang dari gunung Lawu (untungnya bangun tidur tidak tidur lagi, lalu bangun lagi….), Noval glenik-glenik…, omong-omong pelan dengan ibunya. Kalau urusan pendekatan personal begini, Noval tidak berani langsung menghadap bapaknya. Bukan takut dimarahi, melainkan agaknya bosan mendengar ceramahnya (padahal salah satu syarat untuk menjadi orang tua yang baik adalah harus pintar ceramah di depan anaknya…..). Baru kemudian ibunya yang lapor sama bapaknya. Ini sebenarnya jenis birokrasi keluarga yang enggak mutu…..

Seperti sedang bicara sendiri saat duduk di samping ibunya, Noval ngomong sambil cengengesan : “Bu, kapan kita ke dealer-nya?”. Ibunya menjawab pendek : “Yo sana tanya sama bapak”. Lalu tukas Noval lagi : “Ibu aja yang bilang, ah…!”.

Sesaat kemudian Noval berkata : “Tapi sebenarnya bapak itu punya uang enggak, sih….. Saya jadi enggak enak. Sebenarnya saya ya tidak ingin merepotkan orang tua, tapi gimana ya…..”, katanya kemudian dengan nada pasrah tapi masih dengan nyengenges. Maka luluhlah pertahanan bapaknya….

Sebagai seorang anak, rangkaian kata-katanya kedengaran bijaksana, tapi penuh berbau rayuan. Memelas tapi menohok. Halus dan sopan tapi memojokkan. Tentu saja sebagai orang yang telah mengantongi jam terbang cukup lama sebagai orang tua, omongan itu harus diterjemahkan cukup dengan dua kata saja : “Manna janjimu…?”.

Akhirnya dengan setengah terpaksa (terpaksa kok nanggung, cuma setengah…), segera saya berseru kepada Noval, anak keduaku yang rodo nggregetke (menggemaskan bercampur menjengkelkan) itu : “OK, ayo mandi…mandi…mandi…. Ke dealer kita pagi ini…..!”.

Yogyakarta, 1 Oktober 2009
Yusuf Iskandar

Bakmi Jawa Jogja Mbah Hadi

29 September 2009

Mbah Hadi3_rPada sekitar tahun 1997 mbah H. Hadi memulai usaha warung bakmi kaki lima di pinggiran depan terminal Terban, Yogyakarta. Kini bakmi khas Jogja itu dikenal dengan nama bakmi jawa atau jowo, lebih afdhol lagi kalau disebut bakmi jowo Jogja. Bahkan ketika warung sejenis dibuka di kota lain pun tetap menggunakan label bakmi jowo atau bakmi Jogja.

Kalau kebetulan sedang berada di Jogja, maka banyak pilihan tempat untuk mencicipi bakmi Jowo sejenis ini. Sekedar menyebut nama yang sudah dikenal, di antaranya ada bakmi Mbah Mo, bakmi Pak Pele, bakmi Kadin, dan masih banyak lainnya yang tersebar di seantero wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, beserta segenap penerus, peniru dan pengikutnya. Dan, bakmi jowo Mbah Hadi adalah satu di antaranya.

Lokasi bakmi Mbah Hadi relatif mudah dicari dan dicapai karena berada di tengah kota Jogja. Berada di kawasan bekas terminal Terban, Jl. C. Simanjuntak, tepatnya sebelah utara SPBU. Sejak Mbah Hadi meninggal dunia bulan Mei 2009 yll, kini usaha warung bakminya diteruskan oleh putra-putranya. Dimotori oleh Pak Sukiran, putra kedua Mbah Hadi, dan dibantu oleh adik-adik serta sanak-saudara lainnya, maka kini warung bakmi Mbah Hadi yang semakin dikenal para pelanggannya terus mengibarkan bendera bakmi jowonya.

“Sakjatosipun meniko inggih namung samben kok pak…”, kata Pak Sukiran yang maksudnya menjelaskan bahwa jualan bakmi ini sebenarnya cuma sekedar sambilan. Tentu saja ini gaya merendah versi pak Sukiran. Sepenuhnya dapat dimaklumi karena pak Sukiran merasa pekerjaan utamanya sebenarnya seorang PNS di Jogja, tapi setiap sore hingga malam jualan bakmi. Begitu kira-kira logika pikirannya. Dan saya cuma tersenyum mengiyakan.

Kalau saya pikir-pikir, ya sambilan bagaimana kalau warung bakminya setiap  hari rata-rata menghabiskan 10 ekor ayam dan 300 butir telur bebek, yang berarti sekitar 300 porsi bakmi godok (rebus) dan goreng terjual habis. Pak Sukiran dan pasukan keluarganya bahu-membahu melayani penggemar dan penikmat bakmi jowo setiap malam dan buka mulai jam 5 sore, tentu ini bukan pekerjaan sambilan atau pengisi waktu belaka. Belum lagi kalau tiba musim liburan atau lebaran, 14-15 ekor ayam siap dihabiskan.

Mbah Hadi1_rRasa bakminya memang tidak diragukan lagi bakal membuat ketagihan penggemar bakmi jowo. Tergolong hoenak…. Sekelas dengan bakminya Mbah Mo yang ada di pedalaman mBantul sana (yang konon kini kelezatan taste-nya yang sudah kondang itu mulai rada menurun, tapi ya tetap saja enak….). Dalam upayanya menjaga kualitas rasa bakminya, pak Sukiran menerapkan rejim satu wajan satu porsi. Betapapun banyaknya pelanggan yang mengantri, tetap saja pemasakannya akan dilayani sesuai prosedur yang sudah ditetapkan, yaitu setiap porsi dimasak masing-masing dan sangat dihindari untuk memasak sekaligus lebih dari satu porsi. Prosedur inilah yang diyakini oleh pak Sukiran dan timnya akan mampu menjaga cita rasa khas bakmi jowonya dan ramuan bumbu yang pas bagi setiap porsinya.

Meski pelayanannya sebenarnya tergolong lincah dan cekatan, dan meski didukung oleh dua wajan yang beroperasi non-stop sejak buka, tetap saja berakibat menjadi kurang cepat ketika banyak pelanggan menunggu dilayani. Meski demikian toh dengan tenangnya pak Sukiran berkata : “Kalau sabar ya monggo ditunggu…. Kadang-kadang ada juga yang kurang sabar lalu tidak jadi beli”. Dalam hal seperti ini pun pak Sukiran bergeming, pokoknya satu wajan tetap satu porsi. Akibatnya hanya pelanggan-pelanggan yang fanatik dengan cita rasa khas bakminya Mbah Hadi saja yang sanggup mengemban judul “sabar menanti”, menanti dilayani maksudnya…

Seperti pengalaman saya malam kemarin, puluhan orang rela dengan sabar menanti dilayani. Warung bakmi ini sebenarnya hanya menempati sepetak kios kecil yang hanya diisi oleh dua buah meja kayu panjang dengan empat bangku berhadap-hadapan, tapi di luar warungnya tergelar kursi dan tikar tambahan. Itu pun penuh diisi pelanggan. Dalam menjalankan bisnisnya, bakmi Mbah Hadi berkolaborasi dengan pedagang angkringan yang menyediakan minuman teh jahe.

Harga per porsinya tergolong murah-meriah jika dibandingkan dengan warung-warung bakmi kategori hoenak tenan, yang ada di Jogja. Sebanding juga dengan kesabaran menunggunya. Kalau tidak salah tiap porsinya dihargai sekitar Rp 8.000,-. Harga persisnya saya lupa (maklum saking enaknya jadi lupa….). Menirukan kata seorang rekan setelah makan bakmi Mbah Hadi ini lalu mengekspresikan kepuasannya : linak, litu, linggo, lico, lijo….., njuk liyar. Maksudnya, lali anak (lupa anak), lali putu (lupa cucu), lali tonggo (lupa tetangga), lali konco (lupa teman), lali bojo (lupa istri), dan akhirnya lali mbayar (lupa mbayar)….. Kalau yang terakhir ini memang rada nekat……

Pak Sukiran memang pantas kalau sekarang bisa menikmati hasil rintisan dan kerja keras almarhum Mbah Hadi sejak lebih sepuluh tahun yll. Maka menjaga kualitas cita rasa bakminya adalah menjadi prioritasnya. Jamaknya sebuah kesuksesan, maka kini banyak pihak investor mulai melirik ingin membuka cabang bakmi Mbah Hadi. Namun pak Sukiran nampaknya belum tergerak. Khawatir tidak tertangani dengan baik (bahasa moderennya, manajemennya tidak siap), nanti malah bubrah semua. Sederhana sekali. Dan kita sering dibuat tertegun menyaksikan kesuksesan yang terjadi di balik sebuah kesederhanaan sikap dan cara berpikir.

Yogyakarta, 29 September 2009
Yusuf Iskandar

Bapak-bapak menunggu pesanan

Bapak-bapak menunggu pesanan

Ibu-ibu kekenyangan

Ibu-ibu kekenyangan

Selamat Idul Fitri 1430H

20 September 2009

Perjalanan sebulan penuh usai sudah. Kini kita harus siap-siap menyongsong untuk menjalani dengan penuh hikmah perjalanan sebelas bulan berikutnya, hingga berjumpa kembali kepada (Insya Allah) Ramadhan tahun depan.

Ijinkan kami, saya dan segenap keluarga menghaturkan :

SELAMAT IDUL FITRI 1430H
Mohon maaf lahir & batin

Semoga kita semua termasuk ke dalam gerombolannya orang-orang yang kembali kepada kesucian, meraih kemenangan dan kebahagiaan.

Wass.
Yogyakarta, 20 September 2009 (1 Syawal 1430H)
Yusuf Iskandar

‘Anim’ Dan ‘Sentheng’

2 Agustus 2009

‘Anim’ dan ‘sentheng’, keduanya bukan nama anak yang haus permainan murah-meriah tapi di-plokotho dengan ayat-ayat judi…..

“Awas ‘anim’…!”, teriak ‘boss’ saya tiba-tiba yang agaknya masih trauma setelah kemarin moncong mobilnya saya serempetkan dinding tembok. Saya pun lalu dengan sigap menghindari ‘anim’ ketika mengemudikan kjang masuk ke gang sempit. Tapi anak saya justru yang bengong: “Apa ‘anim’…?

‘Anim’ adalah kosa kata pasaran dalam bahasa Jawa sejak jaman pendudukan Belanda dulu yang sekarang sudah langka digunakan orang. Hanya orang-orang tua Jawa yang masih sering menggunakan kata ini dalam percakapan sehari-hari. Biasanya untuk menyebut tiang listrik atau hal-hal yang berbau listrik PLN (listrik kok bau…..). Naga-naganya kata ini berasal dari bahasa Belanda yang “dijawakan”. Maka pantas saja kalau anak-anak Jawa sekarang tidak familiar dengan kata ini, sebab kedengaran aneh.

Selain ‘anim’, ada juga yang menyebut tiang listrik atau tilpun yang terbuat dari besi dan biasanya bercat hitam pekat dengan sebutan ‘sentheng’. Kata ini pun sekarang jarang digunakan. Maka jangan heran kalau ada orang Jawa yang tidak mengenal kata ini. Padahal kata ‘sentheng’ kedengaran lebih gaul…, cocok untuk nama cafe, diskotik atau geng motor, dengan asesori yang serba hitam seperti dukun. Atau jangan-jangan malah dikira nama jenis makanan, sebab konon dulu pernah ada pejabat yang masuk bui gara-gara ‘sentheng’ se-kabupaten dimakannya…..

Sekarang musim agustusan, jadi boleh juga kalau ada ide mengadakan perayaan 17-an dengan lomba panjat ‘sentheng’, asal jangan makan ‘sentheng’….

Hidup ‘anim’…, hidup ‘sentheng’…. Merdeka….!

Yogyakarta, 2 Agustus 2009
Yusuf Iskandar

Lebih Lama Lebih Baik

31 Juli 2009

Sebelah kiri rumah saya adalah pesantren. Malam ini ada acara tutup tahun ajaran. Acaranya roame, puadet wal-poanjang…. Bagi yg hadir (termasuk saya yang baru saja anjlok dari pesawat), bukan saja nambah pengalaman tapi juga kemalaman. “Tipikal” orang beribadah….. Lebih Lama, Lebih Baik…..

Yogyakarta, 31 Juli 2009
Yusuf Iskandar

Suatu Malam Di Malioboro

3 April 2009

img_0810_r1Keluar dari toko buku Gramedia Malioboro Mall Yogyakarta, saya bergabung dengan seorang teman yang sebelumnya sudah menunggu di depan Mall. Teman saya ini baru pertama kali datang ke Yogyakarta dan minta ditemani untuk jalan-jalan malam di Malioboro sambil mencari-cari sebarang pesanan seorang temannya. Sebagai orang Jogja, saya sendiri sebenarnya sudah sangat lama tidak pernah menikmati jalan-jalan malam di kawasan Malioboro.

Bagi saya, atau barangkali juga kebanyakan orang Jogja, sengaja menghabiskan waktu malam dengan menyusuri penggal Jl. Malioboro adalah bukan pilihan menyenangkan. Kalau bukan karena keperluan yang mengharuskan pergi ke toko yang ada di kawasan Malioboro, ada acara khusus di sana, atau menemani orang yang baru pertama kali datang ke Jogja, rasanya lebih baik pergi ke kawasan jalan yang lain di Jogja. Meski tidak dipungkiri sebagian orang justru menyukai tempat ini.

Kawasan ini serasa terlalu padat menyesakkan dan kurang lagi nyaman untuk dinikmati sebagai obyek wisata jalan-jalan bersama keluarga, kecuali di bagian ujung selatan seputaran Gedung Agung dan benteng Vredenburg saja yang terasa masih nyaman untuk menghela napas agak panjang. Selebihnya perlu agak ngos-ngosan untuk melaluinya. Jangan sekali-sekali jalan meleng, sebab puluhan andong dan kudanya, ratusan becak dan tukangnya, atau ribuan pejalan kaki dan teman-temannya, belum lagi pedagang kali lima di sepanjang trotoar pertokoan dan sepeda motor yang keluar-masuk tempat parkir, siap menyerempet atau menginjak kaki sesama pejalan kaki tanpa perlu mencari tahu siapa yang salah. Idenya Malioboro adalah kawasan street mall, tapi salah bentuk. 

***

Sekitar pukul 20:30 WIB kami kembali sampai di teras Malioboro Mall setelah berjalan kaki ke arah selatan Malioboro, baik di sisi barat maupun timur jalan. Teman saya mengajak makan lesehan. Saya sarankan bukan di Jl. Malioboro-nya sebab kawasan ini terlalu crowded, nanti jadi kurang nyaman untuk menikmati santap malam sambil duduk lesehan. Kami putuskan untuk mencari warung lesehan di Jl. Perwakilan, sebuah penggal jalan di sebelah utara Malioboro Mall, relatif tidak terlalu hiruk bin pikuk.

Masih berjalan santai di teras Mall, di tengah keramaian pejalan kaki, seorang pemuda tampan berbusana rapi, berkaos hitam dan bercelana warna gelap, menghampiri dari sebelah kanan saya. Lalu katanya :
 
“Mau pijat pak?”. Saya hanya menoleh acuh tak acuh. Sang pemuda lalu menambahkan : “Yang mijat cewek pak….”.

Ah, tergoda juga saya. Tergoda untuk tanya lebih lanjut, maksudnya.
“Cantik, enggak?”, tanya saya iseng, masih sambil jalan perlahan.

“Wah, dijamin pak”, jawab sang pemuda itu meyakinkan. Saya tidak tahu, ini dijamin tidak luntur atau luntur tidak dijamin. Namun akhirnya saya berkata : “Enggaklah, mas. Terima kasih”.

Eh, rupanya sang pemuda masih ngotot juga. Setengah memaksa dia menyodorkan dua buah kartu nama agar saya terima (mungkin karena dilihatnya saya berjalan berdua teman saya), sambil katanya : “Barangkali nanti bapak membutuhkan…”. Dan kedua kartu nama itu pun lalu saya masukkan ke saku baju, karena saya tahu teman saya pasti tidak tertarik dengan kartu nama itu.

Sesampai di warung lesehan, sambil menunggu pesanan gudeg, ayam dan burung dara goreng plus lalapannya disajikan, saya lihat kembali karta nama yang tadi saya selipkan di saku baju saya.

Selembar kertas kecil seukuran kartu nama (lha, namanya juga kartu nama…) dengan desain sangat sederhana. Berwarna dasar hitam, bertuliskan “Pijat Panggilan”, di bagian bawahnya ada tulisan warna kuning “Hub. : 085 sekian-sekian-sekian… INDRA/ENY/MITA” (ditulis dengan huruf kapitas menyolok).

Sejenak saya menelan ludah….. Bukan, bukan karena membaca nama tiga diva yang ada di kartu nama itu, melainkan karena asap burung dara goreng dan petai goreng yang masih mengepul sudah tersaji di depan hidung lengkap dengan lalapan dan sambalnya. Kartu nama itu lalu saya masukkan kembali ke saku baju.

Sesampai di rumah, kartu nama tadi saya selipkan di buku tipis “Innovative Leadership” karya Dennis Stauffer yang tadi saya beli di Gramedia, lalu bukunya saya masukkan ke dalam tas ransel kebanggaan saya. Saya perlu ekstra hati-hati menyimpan buku ini. Jangan sampai perang dunia ketiga pecah di dalam rumah. Cukup gempa bumi 5,9 Skala Richter yang telah memporak-porandakan separuh isi lemari kaca dan beberapa keramik, tiga tahun yll.

Kini, diam-diam buku itu saya buka dan saya lihat kembali kartu nama hitam bertulisan nama tiga diva pebisnis panggilan dari Malioboro. Usai menulis kisah ini, kartu nama itu saya sobhek-sobhek… (diucapkan sambil menirukan mulut Thukul Arwana) hingga kecil-kecil lalu saya buang di tempat sampah paling bawah. Agar kalau ada pembaca yang ingin tahu no HP yang tertulis di kartu itu jangan menghubungi saya, melainkan jalan-jalan saja sendiri ke Malioboro sana….. 

Yogyakarta, 3 April 2009
Yusuf Iskandar

Bandeng Tambak Kropok, Pilihan Menu Bandeng Bebas Duri

1 Februari 2009

img_0804_rIkan bandeng memang memiliki citarasa berbeda dibanding ikan lainnya. Namun untuk menikmatinya acapkali nyali si calon pemakan sudah ciut kalau ingat duri bandeng kelewat banyak termasuk duri-duri kecil yang seakan tersusun rapi menyelimuti sekujur tubuh ikan bandeng.

Makan bandeng presto atau yang juga dikenal sebagai bandeng berduri lunak adalah salah satu solusi menikmati bandeng tanpa takut terganggu duri. Namun pada bandeng presto yang dimasak pada temperatur tinggi itu duri-durinya masih tetap melekat di dalam dagingnya, hanya saja durinya menjadi lunak atau empuk ketika digigit atau dikunyah.

Pilihan lain untuk menikmati bandeng adalah makan bandeng tanpa duri. Duri-durinya benar-benar dihilangkan sehingga dijamin si pemakan bandeng akan terbebas dari tertelan duri. Sungguh sebuah pengalaman yang menyesakkan, saat enak-enaknya makan ikan tiba-tiba durinya tertelan dan tersangkut di tenggorokan. Selezat apapun masakan yang disajikan, segera buyar selera kenikmatannya.

Peristiwa tertelan duri ikan, oleh orang Jawa disebut ke-lek-an ri, yang lebih berkesan dramatis ketimbang menyebut tertelan duri. Kalau orang Jawa mengatakan ke-lek-an ri, seolah menggambarkan telah terjadi sebuah tragedi yang sukar dilukiskan penderitaannya. Herannya, kebanyakan peristiwa ini dialami oleh anak-anak. Entah karena tenggorokan anak kecil masih berlubang sempit atau karena anak kecil biasanya belum mampu mengamalkan prosedur yang aman untuk makan ikan berduri.

Ingat masa kecil ketika mengalami ke-lek-an ri (tertelan duri)? Sedang enak-enaknya muluk (menjumput) nasi putih hangat yang di-ciprat-i kecap manis, tiba-tiba mak sek……, nafas serasa terhenti, dada sesak, gigi meringis menahan rasa sakit, mata agak melotot tertahan (karena malu dilihat orang) tapi titik air mata tak bisa ditahan juga, ketika sebatang duri kecil tertelan dan nyangkut di tenggorokan. Ugh…..! Diminumi banyak-banyak hanya membuat perut kembung saja, karena air minum hanya permisi lewat di tenggorokan.

Orang tua kita biasanya lalu menganjurkan : “Nge-lek sego…, nge-lek sego…!” (menelan nasi). Kita pun disuruh makan nasi tapi tidak dikunyah dulu melainkan langsung ditelan saja. Tujuannya agar gerombolan butir nasi tadi rame-rame mendorong duri yang nyangkut di tenggorokan seperti para demonstran yang mendorong-dorong pintu pagar gedung DPR, sehingga duri akan terdorong masuk ke perut. Perkara di dalam perut kemudian duri nusuk-nusuk lagi ya itu urusan nanti.

Cilakanya, menelan nasi tanpa dikunyah adalah bukan pekerjaan mudah. Perlu energi ekstra untuk mampu melakukannya. Belum lagi kalau setelah rombongan nasi ditelan beberapa kali ternyata pertahanan duri di tenggorokan tak kunjung roboh juga. Akibatnya perut pun lalu merasa sudah kenyang sebelum makan. Ya, makan nasi putih thok itu tadi….

(Weleh…., lha saya ini mau cerita ikan bandeng bebas duri kok malah tentang keloloden ri…, tertelan duri).

***

img_0803_rDi kota Yogyakarta, salah satu pilihan menikmati ikan bandeng tanpa duri ada di Gama Candi Resto yang berlokasi di penghujung selatan Jl. P.Mangkubumi. Tepatnya di depan seberang timur stasiun Tugu, pas di pojokan jalan yang membelok ke kiri yang di pojokan jalannya terdapat tugu jam kota yang salah satu jamnya tanpa jarum (heran juga sama Pemkot Jogja ini, lha wong jam tanpa jarum kok ya nekat dipasang di tengah kota…..).

Menempati sebagian ruangan di sisi sebuah bangunan tua yang sudah direnovasi, restoran Gama Candi menyandang judul menu nasi uduk dan ikan bakar. Lokasinya memang sangat strategis, memandang ke arah selatan dari teras smoking-area resto ini terlihat bangunan hotel Garuda, kepadatan ujung utara Jl. Malioboro dan rangkaian kereta api (kalau pas ada kereta lewat, tentu saja)

Bandeng tanpa duri yang disebut sebagai bandeng tambak kropok adalah salah satu menu unggulannya. Selain bandeng, juga tersedia cumi-cumi, kerang, kepiting, udang, ikan jepang (shisamo), tahu goreng, sayuran, trancam (bukan terancam dengan sisipan huruf ‘e‘), ca baby buncis (yang ini hoenak tenan….), ca taoge ikan asin dan aneka sayuran lainnya serta jus. Ada pilihan nasi biasa dan nasi uduk.   

Bandeng tambak kropok (sampai sekarang saya juga tidak tahu kenapa disebut demikian), daging bandengnya memang benar-benar tak mengandung duri (entah siapa pula yang tekun nduduti…, mencabuti duri-duri kecil ikan bandeng ini hingga begitu bersih). Ikan bandeng ini disajikan di atas piring oval putih sebagai bandeng bakar atau goreng yang sudah dibumbui gurih dipadu dengan guyuran sambal kecap manis bercampur irisan cabe dan bawang merah mentah. Dipotong dengan pisau di atas piringnya, lalu disendok atau atau digarpu atau bisa juga di-usek-usek dengan tangan ke sambal kecapnya, lalu dikunyah bebas saja tanpa khawatir ada duri yang nyisip, sebelum akhirnya ditelan.

Sebaiknya dimakan saat dalam kondisi masih agak panas dan jangan lupa dengan sambal kecapnya. Bumbunya terasa seperti kurang merasuk ke dagingnya, karena itu cocolan ke sambal kecap akan membantu mengantarkan si pemakan pada kesimpulan : “hoenakeee….”.. Meski suka akan bandeng, sebaiknya jangan tinggalkan untuk menikmati menu cumi-cumi, tahu goreng dan ca baby buncisnya.

Suasana tata ruang resto yang dirancang demikian rapi dan enak ditempati, dipadu dengan pelayanan yang bagus dan ramah, lalu akhirnya dibayar dengan harga yang sangat wajar, membuat penikmat masakan ikan-ikanan kiranya cukup merasa puas. Seporsi bandeng tambak kropok harganya Rp 35.000,- cukup untuk 2-3 orang yang tidak sedang kemaruk baru sembuh dari sakit.  

Gama Candi Resto di Yogyakarta yang sudah berdiri setahunan terakhir ini masih seduluran dengan resto yang sama yang lebih dahulu ada di Semarang dan hingga kini masih diminati penggemarnya. Karena itu ada pilihan makan bandeng bebas duri ketika sedang berada di Yogya atau Semarang.   

Yogyakarta, 1 Pebruari 2009
Yusuf Iskandar

img_0816_r

img_0815_r

Udang Bakar Madu Khas Banyu Mili Resto Yogyakarta

26 Januari 2009
Banyu Mili Resto

Banyu Mili Resto

Banyu mili, dalam bahasa Jawa berarti air mengalir. Tapi umumnya orang Jawa merasa lebih nyaman kalau mengucapkannya mbanyu mili (dengan imbuhan huruf ‘m’ di depannya) yang artinya kemudian menjadi : seperti air mengalir atau mengalir seperti air. Kosa kata banyu mili biasanya memberi kesan suasana segar, sejuk, indah, santai, disertai suara gemericik air yang mengalir. Nampaknya kesan itu pula yang hendak “dijual” oleh pemilik resto Banyu Mili di kawasan Jalan Godean, Yogyakarta.

Terdorong oleh rasa ingin mencoba menu masakan yang berbeda pada suatu malam di Yogyakarta, maka seperti air yang mengalir pula kami menuju kompleks perumahan Griya Mahkota Regency di Jalan Godean Km 4,5 Yogayakarta. Di sana ada Banyu Mili Resto & Country Club, sebuah pilihan tempat makan yang menawarkan aneka pilihan menu ikan yang bukan saja bernuansa alam melainkan juga bisa menjadi tempat rekreasi bersama keluarga.   

Lokasinya memang tidak terlalu jauh dari pusat kota Jogja dan mudah dijangkau, berada di kawasan perumahan mewah dengan aneka fasilitas bermain dan rekreasi. Ada danau buatan yang dikelilingi oleh gubuk-gubuk (saung), lengkap dengan fasilitas pemancingan dan kolam renang, atau sekedar menikmati taman yang ditata asri, atau bermain remote control boat dan aero modelling.

Hanya karena tujuan kami malam itu adalah makan, dan bukan mau mandi atau mancing, maka mengalirlah saya dan rombongan berlima menuju ke salah sebuah meja makan di Banyu Mili Resto, yang pada malam itu suasananya tampak sepi.

Lupakan dulu soal kesegaran, kesejukan atau rekreasi, melainkan langsung fokus ke menu makan yang disajikan melalui dua lembar daftar menu berupa kertas dilaminasi bagus dan rapi. Meski sudah tahu menu unggulan resto ini adalah berbahan udang dan gurami, tak urung, bingung juga ketika hendak memesan makanan.

Sebuah kombinasi suasana hati yang nyaris hampir selalu terjadi ketika masuk ke dalam rumah makan yang sebelumnya sudah tersugesti bahwa makanannya berkategori enak atau enak sekali, yaitu lapar tapi bingung… Sudah tahu sedang lapar dan kepingin segera makan, juga sudah tahu kalau makanannya bakal enak, tapi urusan memilih menu ternyata tidak selesai dalam 5-10 menit.

Jalan keluarnya, percaya saja pada menu unggulan atau menu spesial yang ditawarkan, yaitu udang bakar madu ukuran standar (ada juga yang ukuran super), gurami bumbu cobek ukuran sedang (ada juga ukuran besar, tapi ukuran kecil tidak ada) dan kepiting telur saus tiram. Masih ditambah dengan asesori kangkung tumis, sambal terasi dadak, sambal tomat dan tahu-tempe goreng. Kalau menu pelengkapnya memang relatif berasa standar, tapi menu unggulannya itu yang brasa lebih dan lebih brasa….  

img_1040_udangCoba bayangkan….. (walah…., lha saya membayangkan saja serasa seperti benar-benar sedang menyantapnya….). Seporsi udang bakar madu terdiri dari empat tusuk yang setiap tusuknya terdiri dari empat ekor udang. Di balik warna merah-oranye udangnya, bumbunya mrasuk sekali (benar-benar meresap) sampai menembus kulit udangnya dan menyentuh dagingnya yang kenyal-kenyal gurih. Rasa asam berbalut rasa manis madunya terasa pas di selera. Meski sedikit kerepotan memisahkan kulit, kepala dan kaki-kaki udang, tak menghalangi untuk menghabiskan ekor demi ekor udang mlungker yang telah tersaji dua piring di atas meja.

img_1042_guramiGurami bumbu cobek sebenarnya hanya sebuah nama, yaitu gurami goreng disajikan di atas piring dengan guyuran sambal bawang merah, cabe rawit merah, tomat yang digoreng setengah matang, dan bisa ditambah dengan sedikit perasan jeruk nipis. Sebenarnya hanya menu gurami goreng sederhana, tapi takaran sambal setengah gorengnya begitu pas sehingga memberi sensasi sedap dan nikmat (selain karena memang sedang lapar…., dan terkadang ya terpaksa agak rakus juga daripada mubazir…).

img_1039_kepitingMeski bukan restoran spesial seafood, namun cara membumbui kepiting telornya pantas dipuji. Saus tiram yang menyelimuti kepiting goreng dipadu dengan irisan loncang atau daun bawang dan bawang bombay bagai membuat sang pemakan tak ingin berhenti. Sayang telor kepitingnya digoreng matang agak keras, sehingga agak merepotkan untuk diambil dari cangkangnya meski masih tetap bisa dirasakan kemrenyes tekstur kecil-kecil telur kepitingnya.  

Walhasil, semuanya wes…ewes…ewes… bablasss tak bersisa. Tinggal kulit udang, cangkang kepiting dan duri gurami yang njebubuk di atas meja. Soal harga secara umum memang sedikit di atas rata-rata menu sejenis di resto lain di Jogja, namun itu sebanding dengan kenikmatan, kelezatan dan kepuasan yang memang diidamkan oleh para pencari makan.

Resto Banyu Mili yang baru berumur setahunan ini memang termasuk baru di kalangan penikmat makan di Jogja. Namun kreatifitas pemiliknya yang memadukan wisata makan dengan fasilitas rekreasi keluarga yang bernuansa alam dan tertata rapi agaknya cukup menjadi daya tarik tersendiri.

Pengunjung bisa memilih untuk makan di gubuk-gubuk di tepi danau buatan, di ruangan bermeja-kursi, atau bisa juga lesehan. Restoran yang jam bukanya pukul 10.00 – 22.00 ini siap menampung hingga 500 orang tamu sekaligus. Sedangkan fasilitas rekreasinya buka setiap hari dari pukul 07.00 – 18.00. Satu lagi, sebuah pilihan bagi penikmat kuliner di Jogja, sekaligus tempat rekreasi keluarga yang elok dan bersih.

Yogyakarta, 26 Januari 2009 (Tahun Baru Imlek 2560)
Yusuf Iskandar

img_1045_r