Archive for the ‘> Desa Sirahan Pun Porak-Poranda Oleh Lahar Dingin’ Category

Desa Sirahan Pun Porak-Poranda Oleh Lahar Dingin

7 Februari 2011

Catatan dari mengunjungi desa Sirahan, kecamatan Salam, kabupaten Magelang (Jateng) pada Jum’at, 28 Januari 2011. Tulisan ini adalah kumpulan kutipan dari cerita status (cersta) saya di Facebook. Sekedar ingin berbagi dongeng…

***

(1)

Jum’at (28/01/2011) siang yll saya harus menuju desa Sirahan, kecamatan Salam, Magelang. Ini desa kedua setelah Jumoyo yang terkena bencana lahar dingin. Lokasinya di baratdaya Jumoyo. Dari arah Jogja saya harus melewati jembatan kali Putih.

Hal yang di luar perkiraan saya adalah jalur di Jumoyo ini muacet minta ampyuuun… Jalan yang tergerus aliran lahar telah menyebabkan badan jalan menyempit. Perlu waktu lebih 1 jam untuk menempuh penggal jalan sekitar 1 km. Huuuh..!

(2)

Bagi yang akan menempuh rute Jogja-Magelang melintas jembatan kali Putih di desa Jumoyo, Salam, sebaiknya mengalokasikan tambahan waktu 1-2 jam. Ada jalan alternatif tapi lebih jauh dan sempit.

Sementara ketika bersamaan dengan turunnya banjir lahar dingin (seringkali sore hari), rute ini ditutup. Lama-tidaknya tergantung besar-kecilnya banjir. Dan urusan buka-bukaan dan tutup-tutupan jalan ini sudah terjadi berulang kali. Maka, ya harus bar-sabbaaar

(3)

Setelah melewati kali Putih, saya bertemu seorang relawan yang akan menemani ke desa Sirahan. Waktunya sangat mepet untuk sholat Jum’at, maka segera ke masjid terdekat dengan lokasi bencana. Masjid yang ada di Sirahan sendiri “libur” karena semua warganya mengungsi.

Ada rasa batin berbeda saat Jum’atan di masjid An-Nur, dusun Tular, desa Seloboro. Itu karena khotbah Jum’at disampaikan dalam bahasa Jawa seutuhnya. Hmmm, sudah lama tidak saya alami…

(4)

Dari desa Seloboro berboncengan sepeda motor dengan seorang relawan segera menuju desa Sirahan yang lokasinya hanya sekitar 2-3 km dari jalan raya Jogja-Magelang.

Setiba di Sirahan, barulah saya tahu bahwa kondisinya lebih buruk dibanding Jumoyo. Jalan desa beraspal Gulon-Ngluar itu telah berubah menjadi sungai. Sepenggal jalan sepanjang lebih 200 m, sebagian tertimbun pasir cukup tebal, sebagian tergerus hingga kedalaman 5 m dari tinggi jalan aslinya.

(5)

Ketika terjadi banjir lahar, sungai Putih yang sebenarnya kecil tidak mampu menanggung beban aliran lahar dingin yang bercampur pasir dan batu-batu besar dalam volume luar biasa.

Maka aliran banjir pun mencari jalannya sendiri dan jalan aspal Gulon-Ngluar dipilihnya. Jalan itu pun tidak cukup, maka meluberlah ke perkampungan desa Sirahan menyapu apa saja dan menghempaskan rumah-rumah penduduk di lima dusun di sepanjang jalan itu… (kelak akan menjadi jalan kenangan)

‎(6)

Hampir 200 rumah di lima dusun (Salakan, Glagah, Jetis, Sirahan dan Gemampang) terkena dampak langsung dari banjir lahar dingin. Sebagian rumah tertimbun dan tenggelam oleh pasir, sebagian roboh, sebagian lainnya hilang terbawa banjir. Praktis semua rumah yang ada di pinggir jalan Gulon-Ngluar yang kini jadi sungai, kondisinya memprihatinkan bahkan lenyap tanpa bekas. Korban jiwa dapat ditekan, karena datangnya banjir lahar sudah diketahui sebelumnya.

(7)

Informasi datangnya banjir lahar dingin dalam skala sangat besar sudah dimonitor para relawan, satu diantaranya pak Sunaryo, Kepala Dusun Salakan. Segera para warga diminta mengungsi (sayang, ada seorang yang “ngeyel” dan akhirnya tewas terseret banjir).

Pergerakan banjir dimonitor dengan pesawat HT sejak di titik tertinggi lereng barat Merapi. Para relawan di sepanjang lintasan kali Putih saling memberi info situasi di lokasi masing-masing.

‎(8)

Sebagai Kepala Dusun, pak Naryo tergopoh-gopoh mengungsikan warganya dibantu para pemuda. Hal yang tidak terduga adalah kecepatan alirannya.

Pak Naryo mencatat, hanya dalam waktu 22 menit tsunami lahar dingin lengkap dengan pasir dan batunya menyapu desa Sirahan dengan dahsyatnya, sejak prtama kali dilaporkan di titik pantauan tertinggi di hulu kali Putih yang berjarak sekitar 22 km. Itu berarti kecepatannya sekitar 1 km/menit atau 17 m/detik. Waoow..!

(9)

Pak Naryo yang menjadi panglima tertinggi dalam situasi kritis di dusunnya, hanya bisa dheleg-dheleg (bengong dan tegang) menyaksikan datangnya banjir lahar yang begitu cepat, begitu dahsyat…

Sambil berdiri di posisi aman, malam itu pak Naryo menyaksikan detik-detik mendebarkan saat rumahnya diterjang banjir.., roboh.., lenyap.., begitu cepat.., dan baru esoknya melihat bekas rumah dan sekitarnya sudah berubah menjadi padang pasir…Top of Form

(10)

Murid-murid SDN Sirahan I baru beberapa hari selesai membersihkan sekolahnya dari endapan pasir banjir lahar dingin yang cukup besar Minggu sebelumnya. Tahu-tahu banjir kedua yang lebih besar datang seminggu berselang.

Maka tunai sudah urusan persekolahan. Ruang kelas kini berisi pasir, perlengkapan berantakan, belajar-mengajar terhenti, murid-murid mengungsi, pekerjaan lebih berat menanti. Beruntung bangunan sekolah tidak rusak berarti.

‎‎‎‎‎SDN Sirahan I, desa Sirahan, kec. Salam, Magelang, nyaris tenggelam oleh endapan pasir banjir lahar dingin. Sementara ini sekolah masih diliburkan karena ditinggal mengungsi semua muridnya.

(11)

Murid-murid SDN Sirahan I yang adalah warga desa Sirahan kini mengungsi ke barak pengungsian yang jauhnya lebih 3 km dari sekolah. Sebanyak 83 murid kesulitan menuju sekolahnya. Anak-anak itu merasa tidak nyaman untuk numpang belajar di sekolah lain. Anak-anak itu lebih cinta sekolah dan gurunya sendiri.

“Anak-anak kini tidak mau sekolah”, kata bu guru Purwaningsih ‘nglangut’. Anak-anak itu ingin ada kendaraan antar-jemput dari barak ke sekolah pp.

‎(12)

Transportasi menjadi kendala, terutama bagi anak-anak yang ortunya tidak memiliki motor. Jumlah mereka setengah dari jumlah murid. Seperti usul bu guru Purwaningsih: “Anak-anak perlu bantuan transportasi pak”.

Dapat dipahami. Memang tidak mudah membantu dalam bentuk jasa seperti ini. Lebih mudah membantu bentuk barang, sekali dibagi langsung selesai. Sedang bantuan jasa, lebih-lebih berkelanjutan entah sampai kapan, jelas lebih repot mengelolanya terutama bagi donatur personal.

(13)

Ketika terjadi banjir lahar yang pertama, sebenarnya sudah banyak bantuan mengalir untuk sekolah SDN Sirahan I dan murid-muridnya. Namun ketika terjadi banjir lahar kedua yang lebih parah, bantuan berupa buku, tas sekolah dan perlengkapan itu tertunda karena sekolah diliburkan. Murid-murid itu kini lebih butuh perlengkapan sekolah, terutama sepatu dan baju seragam yang banyak tak lagi dimiliki oleh murid yang rumahnya terkena dampak langsung banjir lahar…

(14)

Bangunan sekolah TK Ibnu Hajjar dusun Glagah, desa Sirahan, itu kini isinya porak-poranda dan taman bermainnya hilang, tinggal menyisakan setengah bangunannya. Anak-anak taman nak-kannak itu kini tak lagi punya wahana bermain. Apa boleh buat, alam menghendaki demikian…

Sama seperti hamparan sawah yang sedang mulai menguning itu sebagian kini berubah menjadi dataran pasir. Apa boleh buat, alam pun menghendaki demikian…

(15)

Saya pikir, melihat kondisi TK Ibnu Hajjar di dusun Glagah yang setengah bangunannya dihajar lahar itu sudah membuatku mengelus dada. Lha, begitu tiba di dusun Gemampang saya harus nambahi mengelus jidat.

TK Pertiwi yang ada di sudut pertigaan jalan itu malah bangunannya buablas tak berbekas kecuali secuil dindingnya, tak tahu kemana perginya… Posisinya digantikan oleh segelundung batu besar, yang juga tak tahu darimana datangnya…

(16)

Ya namanya juga anak-anak… Melihat sekolah TK-nya hilang, ya sudah, nggak mau sekolah. Untung ada yang berinisiatif membujuk pindah menempati rumah warga yang masih dapat digunakan sementara pemiliknya mengungsi.

Pak Danang (Kadus Gemampang) mengusulkan bantuan untuk anak-anak (baik yang di TK maupun yang tidak mau sekolah dan tetap di barak), seperti mainan dan buku cerita anak. Saya hanya mengangguk sambil pegang pelipis, mikir maksudnya…

(17)

Segenap warga lima dusun dari desa Sirahan, kecamatan Salam, kini tinggal di pengungsian yang letaknya cukup jauh. Sebagian besar mereka bekerja sebagai buruh (tani/bangunan/tambang pasir).

Siang itu saya lihat sebagian dari mereka yang memang benar-benar dibuat tak berkutik oleh bencana, tanpa pekerjaan, duduk-duduk, ngobrol, melamun, di barak pengungsian. Sampai kapan? Menilik potensi ancaman banjir lahar, jelas mereka akan ada di sana untuk waktu lama…

(18)

Anak-anak itu.., anak-anak yang tidak sekolah, bersuka-ria, bercanda, bermain, tertawa riang, di halaman barak pengungsian. Sekarang baru bicara hitungan hari hingga minggu. Sedang naga-naganya mereka akan di sana dengan hitungan bulan… Bagaimana dengan pekerjaan dan penghidupan tiap-tiap keluarga selanjutnya? Bagaimana dengan anak-anak itu dan sekolahnya?

Saya tidak ingin menjawab pertanyaan itu, saya hanya ingin bagaimana bisa menjadi bagian kecil saja dari kehidupan mereka…

Anak-anak bermain bola di halaman barak pengungsian, sementara para orang tua duduk-duduk menyaksikan dari jauh. Menunggu waktu…, mengisi waktu…, pekerjaan yang tak kan pernah selesai mereka jalani…

(19)

Para korban bencana itu perlu bantuan. Itu pasti. Tapi bantuan apa yang paling dibutuhkan? Riil dan jujur, yang paling dibutuhkan adalah uang..! Kita suka merasa jengah kalau mendengar kata uang.

Uang memang lebih fleksibel, mudah dilipat, juga ditilap. Tapi itulah kenyataan, mereka perlu pengganti penghasilan setelah tidak dapat bekerja. Walau logistik, pakaian dan kebutuhan lain tercukupi, mereka tetap perlu biaya transport, bensin, pulsa, dsb…

‎(20)

Walau uang yang paling mereka butuhkan, tidak serta-merta berarti tidak menerima bantuan non-uang. Apapun rupa bantuannya dan berapapun banyaknya, bantuan akan selalu disambut dengan suka cita. Bahkan sesama dusun dapat saling jujur dan adil dalam mendistribusi bantuan sesuai pesan pemberinya.

Tapi saya (juga banyak donatur, biasanya) lebih memilih untuk mengirimkannya langsung ke posko-posko mandiri yang ada di dusun-dusun ketimbang melalui posko utama.

(21)

Mengakhiri kunjungan saya ke desa Sirahan, sore itu saya berdiri di atas tanggul kali Putih. Nampak jelas permukaan sungai kini berada lebih tinggi dibanding desa Sirahan. Tanggul itu terus ditinggikan dengan mengeruk dasar sungainya dengan alat berat.

Namun setiap kali terjadi banjir lahar dingin, sungai akan penuh kembali. Sedang di atas lereng Merapi sana masih menunggu jutaan m3 material vulkanik siap digelontorkan… Masya Allah..!

(22)

“Kampungku Bencanaku 090111″… Ekspresi warga dusun Gemampang, desa Sirahan, terhadap bencana banjir lahar dingin berskala besar yang pertama, yang telah menghancurkan desanya dan mengantar sebongkah batu besar ke sudut pertigaan jalan desa. (Di batu besar itulah tulisan ekspresi kesedihan itu diabadikan).

Yogyakarta, 29 Januari – 1 Pebruari 2011
Yusuf Iskandar