Archive for the ‘> Seputar YOGYAKARTA’ Category

99 Catatan Harian Ramadhan 1432H

14 November 2011

Pengantar:

Berikut ini kumpulan catatan harian saya seputaran Ramadhan hingga Idul Fitri 1432H (1-31 Agustus 2011) yang saya posting dalam cerita status di halaman Facebook. Semoga ada hikmah yang dapat dipetik, atau paling tidak, dapat menjadi bacaan selingan yang menghibur syukur-syukur inspiratif. Monggo…

Yusuf Iskandar

****

(1)

Peluang bisnis itu kembali tiba. Kini membentang di depan mata. Betapa bersyukurnya…

Peluang bisnis yang praktis dapat dijalankan tanpa modal sama sekali, tidak juga modal dengkul. Peluang bisnis yang sangat spektakular, yang digaransi pasti untung. Tidak perlu menghadiri seminar, training, atau sejenisnya. Tidak perlu pengalaman. Yang diperlukan hanya rasa ikhlas seikhlas-ikhlasnya… Ya, peluang bisnis itu bernama Ramadhan.

‎(Jogja, 1 Agustus 2011)

(2)

RESOLUSI RAMADHAN. Ramadhan datang tiap tahun, tapi tidak banyak orang mau menangkap peluang bisnis Ramadhan itu. Sehingga tahun demi tahun peluang itu lewat begitu saja, tanpa secuil pun nilai tambah. Sayang sekali. Sedang untuk bisnis yang tak yakin untung-ruginya saja tiap tahun dibuat Resolusi sambil pethenthengan.

Resolusi Ramadhan, sebenarnya mudah saja… Tingkatkan amal kita sedikiiit saja lebih baik. Itu sudah lebih dari cukup asal ikhlas dan konsisten.

‎(Jogja, 1 Agustus 2011)

(3)

Malam pertama… Selalu menjadi malam yang mendebarkan yang dihadapi dengan rasa galau tapi sukacita. Malam yang ditunggu-tunggu untuk dapat dilalui dengan penuh semangat dan gairah. Malam yang selalu diimpikan menjadi malam yang mengesankan dan penuh kenangan.

Secara lahir, bersih-bersih tubuh dilakukan. Secara batin, bersih-bersih hati dengan saling memaafkan dan mengikhlaskan. Maka malam pertama Ramadhan pun sepantasnya disambut dengan ceria tapi khusyuk penuh rasa penghambaan…

‎(Jogja, 1 Agustus 2011)

(4)

Agenda malam pertama Ramadhan adalah sholat tarawih (+witir). Di kampungku ada pilihan. Di pesantren, 23 rakaat, tanpa kultum, gerak cepat. Di masjid, 11 rakaat, ada kultum, gerak normal.

Anak lanang kutanya: “Mau tarawih dimana?”.
“Di pesantren tapi 11 rakaat”, jawabnya tidak mau rugi.
Kataku: “Kalau itu karena ngantuk atau sedang capek, OK tidak apa-apa. Tapi kalau karena mau buru-buru main, itu yang tidak benar”.
“Hahaha…”, jawabnya. Woo dasar..!

(Jogja, 1 Agustus 2011)

(5)

Pulang tarawih di malam pertama Ramadhan. Duduk santai menyaksikan balap Formula 1 sambil menyruput secangkir teh hangat. Tehnya spesial, ramuan uji coba campuran antara teh cap “Poci” dari Slawi yang aroma wanginya tajam dan teh cap “Tjatoet” dari Tegal yang kuat rasa tehnya.

Saat sesruput teh spesial itu turun mengalir di tenggorokan dengan aroma wanginya… Uufff, seperti tidak sabar ingin segera berbuka, padahal puasa saja belum…

‎(Jogja, 1 Agustus 2011)

(6)

Penyakitnya orang yang sedang puasa adalah ngantukan, setelah itu diikuti lemes dan akhirnya males. Komplikasi dari penyakit ngantukan-lemes-males ini adalah biang dari laku tidak produktif. Penyakit ini tidak ada obatnya, melainkan dilawan agar tidak menjadi semakin tidak produktif.

Kalau mau dituruti, penyakit ini bisa menyerang sehari suntuk. Akhirnya kluntrak-kluntruk (lemas tak berdaya). Dan itu bukan gaya hidupnya orang yang berpuasa.

‎(Jogja, 2 Agustus 2011)

(7)

Penyakit ngantukan-lemes-males menjadi semakin parah ketika menyerang orang yang berpuasa tapi dengan pede-nya berlindung di balik Hadits: “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah”.

Kata-kata itu tidak salah. Yang salah adalah orang yang berpuasa tapi mau cari enaknya. Tidur itu ibadah kalau ketika tidak tidur menjadi mudharat. Tapi kalau tidak tidur karena ada kewajiban harus ditunaikan, ya tidurnya malah yang mudharat, boro-boro ibadah… Lha kok nyimut (enak buangets)?

‎(Jogja, 2 Agustus 2011)

(8)

Hari pertama puasa ditutup (tapi buka) dengan secangkir kopi Aroma mokka arabika (dari Bandung) dan jajan pasar klepon, cenil, putu dan onde-onde. Habis itu badan terasa lemas, duduk di depan televisi menyaksikan Pak De Marzuki Alie yang sedang cengengesan membela diri tentang omongannya yang pathing pecothot mau membubarkan KPK dan memaafkan koruptor. Padahal belum kekenyangan (saya, bukan Pak De Zuki) lalu terdiam menunggu waktu Isya, belum mandi…

‎(Jogja, 2 Agustus 2011)

(9)

Ketika nabi Muhammad saw bilang: “Berpuasalah agar kau sehat”, itu tidak bohong. Maka kalau belum “mampu” berpuasa karena perintah Tuhan, berpuasalah karena tidak enak sama teman atau jadikanlah puasa untuk gaya hidup, sebagai upaya menjaga kesehatan dan kebugaran.

Ketika nanti terbukti benar bahwa dengan puasa ternyata tubuh menjadi sehat, maka yakinlah bahwa perintah Tuhan itu tidak sia-sia, bukan iseng untuk variasi tahunan. Tunaikan hingga tuntas…

‎(Jogja, 2 Agustus 2011)

(10)

Kata pak ustadz, puasa itu dimulai sejak terbit fajar dan diakhiri saat tenggelam matahari. Mengakhiri puasa tapi justru dengan buka puasa.

Sebulan dalam setahun, kata ‘buka’ berarti ‘tutup’. Itulah hal pertama saat kebahagiaan diraih oleh mereka yang berpuasa karena mendamba ketakwaan. Kebahagiaan kedua adalah ketika orang-orang yang berpuasa itu kelak berjumpa dengan Tuhannya. Maka setiap kali menutup sehari puasa berati membuka dua pintu kebahagiaan.

‎(Jogja, 3 Agustus 2011)

(11)

Sepulang dari sholat subuh di masjid, anak wedok yang sedang ada di kamarnya saya ingatkan via SMS (haha.., korban teknologi): “Sempatkan tadarus, nduk“.

“Udah tadi, habis subuhan”, jawabnya.
Kok nggak kedengaran?”, tanyaku.
“Ya makanya beliin toa, nanti kan kedengaran, hahaha…”, jawabnya

(Toa adalah merek alat pengeras suara. Maka apapun merek alat halo-halonya, sebut saja toa…).

‎(Jogja, 3 Agustus 2011)

(12)

“Jangan salahkan tukang roti, jika tukang daging yang membuat rotinya” (kata Alexsie Kutchinov kepada Jack Tuliver dalam film “7 Seconds”). Artinya, si tukang roti ketiban sial tapi bukan sialan…

Maka jangan salahkan orang yang berpuasa jika orang yang tidak berpuasa (atau tidak jelas puasanya) “over acting” minta agar bulan Ramadhan dihormati. Sebab bagi orang-orang yang berpuasa karena la’allakum tattaquun itu sama saja, bulan Ramadhan dihormati atau tidak..

‎(Jogja, 3 Agustus 2011)

(13)

Puasa itu ibadah individual, sangat pribadi. Saking pribadinya hingga kata Allah: “Aku sendiri yang akan memberikan pahalanya”. Tapi puasa menjadi lebih indah ketika dikerjakan berjama’ah dalam kebersamaan.

Alangkah indahnya kalau masing-masing kita menjadi pribadi yang mendukung suksesnya puasa orang lain (keluarga, saudara, tetangga, teman, bahkan lawan politik). Seolah mereka berkata: “Subhanallah, indahnya Ramadhan bersamamu”, tanpa kita mendengarnya.

‎(Jogja, 3 Agustus 2011)

(14)

Setelah libur awal Ramadhan beberapa hari, pagi ini anak lanang berangkat ke sekolah dengan gaya cool (terlihat tenang tapi sebenarnya ngantuk). Tidak seperti biasanya teriak-teriak minta uang saku. Berkat puasa dia tidak punya alasan untuk minta uang jajan. Tapi…, ada tapinya. Katanya: “Dikumpulin dulu, ditagih akhir bulan”.

 

Maka pesannya adalah: Wahai para ortu, jangan senang dulu kalau anak-anak Anda sekarang “berbaik-baik” tidak minta uang jajan…

‎(Jogja, 4 Agustus 2011)

(15)

Malam ini sengaja sholat tarawih di pesantren dekat rumah, 23 rakaat. Lebih capek? Ternyata itu mitos. Sebab sholat itu menjadi enak dinikmati dan dihayati karena sang iman melantunkan bacaannya dengan indah dan fasih. Belum lagi rakaat sebanyak itu dilakukan dengan gerakan yang benar, serasa sedang berolahraga dengan gerakan yang pas sesuai kebutuhan.

So? Nikmati dan hayati bacaannya sekaligus gerakannya. Maka kiranya bukan soal berapa jumlah rakaatnya.

‎(Jogja, 4 Agustus 2011)

(16)

Bukan soal bertarawih (+witir) dengan 11 atau 23 rakaat. Jauh lebih penting adalah memaknai syiar malam-malam Ramadhan dengan qiyamullail dengan niat yang tulus, lagi khusyuk.

Di sanalah ada kebaikan yang dijanjikan oleh Sang Khalik. Tinggal meraihnya, apapun cara yang dilakukan. Mau sedikit jungkar-jungkir atau banyak, kualitas penghambaannyalah yang menentukan nilai kebaikannya. Dan hebatnya, Sang Khalik menggaransi tak pernah ingkar janji.

‎(Jogja, 4 Agustus 2011)

(17)

Untuk kesekian kali anak lanang tidak berbuka puasa di rumah melainkan gabung dengan teman-temannya entah dimana. Saya pikir, wajar saja. Sepanjang dapat diyakinkan kalau setelah tahap berbuka ada tahap maghrib, lalu isya dan tarawih.

Tiba-tiba anak wedok kirim BBM: “Aku buka puasa di luar”. Uugh, makin sepi saja suasana berbuka di rumah. Yo wis, sebagai ortu hanya bisa memberi nasehat (juga via BBM): “Kenapa di luar? Tidak di dalam saja? Nanti masuk angin…”.

‎(Jogja, 4 Agustus 2011)

(18)

Tidur lagi setelah sahur dan subuh, adalah saat-saat paling nikmat bagi orang yang berpuasa. Tidurnya bisa tidak aman dan tidak terkendali. Tidak aman karena bisa benar-benar sangat lelap dan tidak terkendali karena berat untuk bangun.

Jika ada aktifitas penting di pagi hari tapi terasa ngantuk setelah subuh, usahakan tidurnya enggak full, melainkan setengah-setengah. Yang saya lakukan adalah tidur sambil duduk di kursi atau bersandar di tempat tidur dan pasang alarm di dekatnya…

‎(Jogja, 5 Agustus 2011)

(19)

Bukber (buka bersama) pada puasa hari kelima di Pondok Makan “Pelem Golek” Jl. Monjali (Monumen Jogja Kembali), Jogja. Tempatnya cukup enak dengan nuansa halaman belakang taman pinggir sungai. Sangat cocok untuk makan siang bersama keluarga (saat di luar Ramadhan tentu saja).

Menu utamanya aneka masakan berbahan ikan. Citarasanya tidak mengecewakan. Pokoke woenak…

‎(Jogja, 5 Agustus 2011)

*******

(20)

Di lantai 15 di sebuah gedung di tengah Jakarta di hari keenam Ramadhan. Ngutak-atik dan melototin angka dan grafik, tidak perduli akhir pekan tapi perduli kalau masih puasa. Kepala teklak-tekluk pengen ngantuk tapi mau ngupi malu dan nggak enak… (nggak enak sama Tuhan).

Alhamdulillah, masih punya rasa malu dan rasa enggak enak… Sebab salah satu problem bangsa ini kan hilangnya kedua rasa itu..

‎(Jakarta, 6 Agustus 2011)

(21)

Entah kenapa habis berbuka dengan sup buah (nama gaul untuk es campur) dan tempe-tahu goreng, lalu tak tahan segera kabur ke WC. Bukan soal “ke”-nya, tapi “WC”-nya itu…

WC di gedung tinggi di Jakarta (ibukota daripada negeri Indonesia) ini ternyata bule bangets. Tidak ada air untuk cebok melainkan tisu gulung (di warung-warung banyak dipakai sebagai tisu makan). Piye iki? Aspek bersihnya, okelah. Tapi aspek sucinya jadi meragukan untuk kemudian sholat

‎(Jakarta, 6 Agustus 2011)

(22)

Ketika tidak tersedia fasilitas air di WC melainkan kertas tisu, jadi ingat kebiasaan terpaksa, saat tinggal di negara manca. Harus diakalin… Sembunyi-sembunyi, ambil tisu banyak-banyak, dibawa masuk ke WC, tunaikan hajat, cebok dengan tisu basah, akhirnya “dibilas” dengan tisu kering…

Beres? Ya, beres urusan bok-cebbook.., tapi belum beres urusan bersuci. Hanya jika terpaksa, sholat ditunaikan. Tapi sebisa mungkin berusaha dibilas lagi semestinya..

‎(Jakarta, 6 Agustus 2011)

(23)

Teh poci… Teh hijau Chinese tea dengan cangkir kecilnya menemani kerja lembur di malam ketujuh Ramadhan di gedung tinggi di Jakarta. Baiknya curi kesempatan untuk sholat tarawih, daripada nanti di hotel pasti sudah nguwantuk…

Haha.., terpaksa urusan las-billas tadi diulangi dengan tisu lebih basah, lalu berwudhu, lalu sholat tarawih di sebuah ruangan di lantai 15. Semoga pemilik gedung dan kantor juga kecipratan kebaikan dari tarawihku yang 11 rakaat…

‎(Jakarta, 6 Agustus 2011)

(24)

Siang menjelang sore hari puasa… Di sebuah kantor di gedung tinggi di Jakarta. Kalau tiba saatnya ngantuk, ya ngantuk. Tidak ada yang dapat melawannya… Dibawa jalan-jalan sambil menggeliat ya tetap ngantuk, dipakai ngobrol sambil ketawa ya ngantuk, dicuci mukanya sambil berwudlu ya masih ngantuk… Yang belum dicoba adalah dibawa ngabuburit sambil ngupi…

(Jakarta, 8 Agustus 2011)

(25)

Ditawari buka puasa dengan bubur pisang hijau. “Wah, harus dicoba nih…”, pikir saya. Sering dengar menu ini tapi belum pernah benar-benar mencobanya (kalau tidak benar-benar, sering). Warna buburnya merah muda. Tapi yang namanya pisang hijau ini ternyata bukan pisang warna hijau yang suka disuapkan ke bayi atau yang seperti pisang ambon, melainkan pisang biasa entah apa, yang dibungkus dengan tepung beras warna hijau. Walau “ketipu” tetap saja woenaaak

(Jakarta, 8 Agustus 2011)

(26)

Saat pertama tiba di sebuah kantor di Jakarta Sabtu yll dan mau sholat, seorang karyawati memprsilakan saya sholat di sebuah ruangan. Dengan meyakinkan dia menggelarkan sajadah dan berkata: “Menghadap ke sana pak”. Dzuhur, asar, maghrib, isya dan tarawih saya tunaikan. Minggunya berulang kembali.

Sore tadi saya baru tahu ternyata dua hari kemarin saya sholat menghadap ke selatan. “Uugh, si mbak pede sekali”, kataku dalam hati.

(Jakarta, 8 Agustus 2011)

(27)

Pesawat yang ke Jogja masih tiga jam lagi, lebih. Kebayang menunggu sambil kantuk-terkantuk di bandara Cengkareng. Iseng-iseng tanya kalau-kalau ada penerbangan lebih cepat dan masih ada kursinya (kecuali kalau semua kursinya dilepas). Ternyata ada, termasuk masih ada kursinya juga. Syukurlah, sehingga terkantuk-kantuknya cukup setengah jam saja…

GA 214 jurusan Jogja-Jakarta pun terbang. Alhamdulillah, hari ini kembali berbuka puasa bersama keluarga di rumah.

(Jogja, 9 Agustus 2011)

(28)

Empat hari menyelesaikan kerja crash program di Jakarta, siang dan malam, cukup menguras energi. Ternyata mesin tua ini masih sanggup digenjot untuk wayangan seperti jaman sekolah dulu walau dalam bulan puasa.

Haha.., hanya karena ini bukan keterpaksaan melainkan pilihan (dan menjadi pilihan yang “aneh” untuk manusia setengah abad), maka irama ‘kerja – ngantuk – sedikit tidur – puasa’ bisa dinikmati… Kalau orang puasa tidur saja ibadah, apalagi melek…

(Jogja, 9 Agustus 2011)

(29)

Ujung ekor sapi betina (Al-Baqarah) menemani malamku yang kesekian di penggal sepertiga pertama Ramadhan, untuk (kembali) menjalani malam hingga tiba waktu sahur. Ini memang kisah tentang pilihan, bukan keterpaksaan.

Ketika pilihan telah dibuat, maka dia tidak lagi bebas dari konsekuensi. Tapi ketika pilihan yang telah dibuat itu dinikmati dengan kesyukuran, maka konsekuensi itu pun menjadi enak dijalani. Allahumma innaka ‘affuwwun… Wahai Sang Maha Pengampun.

(Jogja, 10 Agustus 2011)

(30)

Mesin tua ini memang tidak lagi bisa dibohongi. Setelah diforsir kerja siang-malam beberap hari belakangan ini, akhirnya lelah juga. Saat berbuka tiba, tapi body mesin umur setengah abad ini terasa tak enak.

Ditakjil dengan dua gelas blimwul tea (teh blimbing wuluh) berkadar vitamin C tinggi, masih saja nggak enak body. Dibawa juga tarawih di mushola walau body semakin nggreges. Akhirnya tumbang juga, terkapar, minta waktu istirahat lebih, walau sebentar-sebentar terbangun.

(Jogja, 10 Agustus 2011)

*******

(31)

Sholat tarawih (+witir) di Jogja umumnya 11 rakaat. Ada beberapa tempat penyelenggaraan tarawih di seputaran kampungku. Tapi anak-anak yang kost di belakang rumahku suka tarawih ke sebuah masjid di luar kampung agak jauh. Ketika saya tanya kenapa tarawih di sana? Jawabnya: “Alhamdulillah, di sana tidak ada kultumnya”. Lho?

“Sebelas rakaat juga?”, tanyaku penasaran.
“Iya”, jawabnya. Tidak ada kultum, tapi alhamdulillah

(Jogja, 11 Agustus 2011)

(32)

Di antara “tanda-tanda” orang berpuasa, selain kalau siang menolak diajak makan ayam bakar dan es kelapa muda (walaupun dibayarin): Pertama, kalau sholat dzuhur dan ashar agak malas-malasan mengangkat kedua tangan untuk takbiratul-ihram. Kedua, ketika melakukan gerakan sujud dan duduk di antara dua sujud, kedua telapak tangannya diseret di alas sholat, alih-alih diletakkan. Tapi bagaimana pun juga, itu tetap lebih baik ketimbang tidak sholat…

(Jogja, 11 Agustus 2011)

(33)

Duduk di teras depan rumah usai tarawih, mengawali malam sepertiga kedua bulan Ramadhan. Menyruput segelas teh belimbing wuluh. Mensyukuri bulan jelang purnama di atas kepala. Menikmati gemericik air kolam koi. Mendengarkan teriakan suara kodok kawin di musim kemarau, yang tidak lama lagi akan bertelur dan kemudian berudunya berhamburan di kolam koi. Hingga tiba giliran ibunya anak-anak teriak-teriak kolam koinya berganti menjadi kolam kodok..

(Jogja, 11 Agustus 2011)

(34)

Ada hal-hal sederhana seputar Ramadhan yang jarang diperhatikan: Pertama, puasa ini peluang untuk menutup ketekoran balance sheet amal manusia. Kedua, puasa ini satu-satunya ibadah yang praktis tanpa perlu biaya. Ketiga, puasa ini sarana fitness center bagi kesehatan manusia.

Akhirnya, jangan heran, karena Tuhan Maha Tahu bahwa manusia ini baru bergerak kalau terpaksa, maka dipatoklah semua itu menjadi wajib hukumnya, agar dikerjakan.

(Jogja, 11 Agustus 2011)

(35)

Benang merah atas hal-hal sederhana yang jarang membuat ngeh orang-orang yang berpuasa maupun yang harusnya berpuasa tapi tidak, yaitu bahwa betapa sayangnya Tuhan kepada manusia, sehingga manusia dipaksa untuk meraih kebaikan-kebaikan yang dijanjikan.

Tuhan lebih tahu bahwa kecil kemungkinan manusia mau sukarela melakukan sesuatu bahkan demi kebaikan dirinya sendiri. Maka, puasa itu mestinya pantas dijalani dengan… enjoy aja!

(Jogja, 11 Agustus 2011)

(36)

Nah, setelah manusia (baca: orang-orang beriman) merasa enjoy aja dengan puasanya, maka Allah pun dengan bangga akan menyematkan sendiri tanda kehormatan predikat takwa bagi oknum-oknum yang setiap kali datang bulan Ramadhan merasa enjoy aja, itu tadi.

Tapi, uuuuugh..! Sulit dan berat sekali untuk tidak membohongi diri sendiri bahwa ternyata tidak mudah untuk ikhlas lahir-batin bersikap enjoy aja

(Jogja, 11 Agustus 2011)

(37)

“Wahai orang-orang yang berpuasa, sesungguhnya ngagoler (tiduran) di masjid atau mushola itu lebih mulia dan enak ketimbang di emper toko”, begitu bunyi kata-kata bijak. Itulah sebabnya maka ketika siang di bulan Ramadhan, masjid dan mushola ramai pengunjung yang sedang mengejar kemuliaan dan… keenakan itu tadi.

(Jogja, 13 Agustus 2011)

(38)

Bleger (sosok) si cantik rembulan yang di awal Ramadhan menjadi rebutan untuk diintip itu kini telah sampai pada setengah perjalanannya…

Malam ini, si cantik rembulan itu betapa tampak begitu merak ati (mempesona). Di singgasana angkasa musim kemarau yang bersih, tenang, hening, syahdu, menenteramkan para penghuni langit dan bumi (termasuk para pengintip saat si cantik baru menjuntaikan helai rambutnya).

(Jogja, 13 Agustus 2011)

(39)

Tak lagi manusia berebut mengintipnya sebab malam ini tubuh telanjangnya utuh ada di depan mata. Dan para pengintip pun terpesona. Tahu-tahu sudah setengah perjalanan dilalui tanpa terasa.

Orang-orang di kampungku suka mengatakan ora keroso (tidak terasa), tahu-tahu Ramadhan tinggal setengah sedang kita merasa belum berbuat apa-apa. Bukan untuk rembulan, tapi untuk diri kita sendiri. Jangan-jangan sisa setengah perjalanan Ramadhan pun akan ora keroso terlalui…

(Jogja, 13 Agustus 2011)

(40)

Tapi sebaiknya jangan berhenti mengintip. Justru perlu lebih diintensifkan. Sebab si cantik rembulan itu sesungguhnya menjadi isyarat akan turunnya “sosok” yang jauh lebih pantas didambakan dan diperebutkan oleh seluruh penghuni langit dan bumi.

Adalah sebuah malam yang sungguh mulia yang lebih baik dari masa seribu bulan, dimana para malaikat akan turun mengatur segala macam urusan hingga fajar tiba. Intip dan rengkuhlah, dalam ridho Illahi…

(Jogja, 13 Agustus 2011)

(41)

Setelah seharian membanting tulang (untung tidak pecah), kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala, sejak fajar bangun sahur hingga malam menjelang tidur… Memasak, menyiapkan makan, mencuci, menyeterika, beres-beres rumah… Ibu muda itu (eh, ibu tua ding…) mengeluh sulit untuk bisa rutin ber-tilawah (membaca Qur’an) di Ramadhan kali ini.

Kataku: “Semua itu adalah tilawahmu. Niatkan itu menjadi tilawahmu…”.

(Jogja, 14 Agustus 2011)

(42)

Ujuk-ujuk kepingin makan asinan. Kemarin ngunduh kedondong kecil-kecil dari halaman belakang toko di Madurejo, Prambanan. Setelah men-download resep asinan dari bidadari dari langit, dibikinlah semangkuk asinan.

Saat berbuka, nggak sabar pengen mencicipi asinan bikinanku. Tapi, uufff.., asinanku keasinan, kurang manis… Tapi tunggu dulu, bukankah memang seperti itu mestinya? Sebab kalau kemanisan berarti namanya manisan. Ah, yang penting enaaak

(Jogja, 14 Agustus 2011)

*******

(43)

Rembulan di atas lorong celah rumah
Sisa purnama di waktu subuh
Melepas segenap warga bumi dan langit melanjutkan sisa perjalanan
Menuju paruh kedua Ramadhan
Semoga selamat sampai tujuan
Meraih kemenangan
Menjadi muttaqin

(Jogja, 16 Agustus 2011)

(44)

Tiba-tiba rasa ini terusik saat tadarus pagi Ramadhan… Sedemikian krusial-nya sikap berperilaku baik, sehingga tidak cukup disebut sekedar agar berbuat baik kepada sesama, melainkan dirinci: kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga dekat dan jauh (termasuk jauh secara akidah), teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya (QS. 4:36).

Jadi, penegasan perintah seperti apalagi yang diperlukan?

(Jogja, 16 Agustus 2011)

(45)

Usai mampir sholat ashar di sebuah masjid, leyeh-leyeh di selasarnya. Lapar, haus dan ngantuk adalah kombinasi ketidak-nyamanan yang pas sekali saat puasa. Semilir angin sore di tengah cuaca panas terasa woenak banget sampai tertidur.

Tahu-tahu terbangun karena takmir masjidnya menggoyang-goyang vacum cleaner membersihkan sajadah, nyetel kaset lagu-lagu islami dengan volume keras sekali. Ya langsung ngabur saja, daripada diajak menggoyang-goyang vacum cleaner

(Jogja, 16 Agustus 2011)

(46)

Malam ini malam pitulasan (17-an), bertepatan malam 17 Agustus dan malam 17 Ramadhan, menjadi malam Tasyakuran. Bersyukur untuk nikmat merdeka dan (siapa tahu) malam kemuliaan (laiatul-qadar).

Merdeka itu.., ya pokoke yang sering dipekikkan itu. Malam kemuliaan itu, lebih baik dari seribu bulan. Maka pekik “Merdeka” itu sekedar simbolisasi yang bagi masyarakat Jogja berarti Segoro Amarto (semangat gotong royong agawe majune Ngayogyokarto), sepanjang jaman…

(Jogja, 16 Agustus 2011)

(47)

Menjadi imam sholat di Indonesia ini harus “fleksibel” sepanjang masih dalam tataran syari’at. Jika jama’ahnya biasa Subuh dengan doa qunut, dia ber-qunut. Jika jama’ahnya biasa tarawih 20 rakaat, dia pun siap memimpin. Termasuk jika perlu tarawih agak over speeding karena makmum mau segera hadir ke acara tasyakur 17-an.

Begitupun mestinya, jika ada makmumnya yang mbalelo maka harus berani “berimprovisasi”…, ya diceblek (digebuk) saja makmumnya.

(Jogja, 17 Agustus 2011)

(48)

Jihad terbesar saat berpuasa bagi sopir-sopir yang sedang menjalankan kendaraannya adalah melawan hawa nafsu ketika menghadapi pengendara sepeda motor yang motornya jalan sak karepe dhewe (motornya yang semaunya sendiri) dan kemaruk membunyikan klakson (kalau ini pengendaranya).

Kemaruk, bahasa Jawa: doyan makan sehabis sakit. Tapi pengendara sepeda motor itu doyan membunyikan klakson (jangan-jangan) justru karena sakit…

(Jogja, 18 Agustus 2011)

(49)

Pulang tarawih ingin segera makan dan siap-siap tilawah baca kitab suci. Tiba-tiba ibunya anak-anak ribut: “Itu lihat, lihat, kodoknya nakal sekali…”. Opo maneh iki (apalagi ini)… “Wong tadi cuma inguk-inguk (tengok-tengok) kolam kok tahu-tahu nyemplung”, katanya lagi.

Wuah! Alamat bakal nambah lagi warga kolam koi nih, pikirku. Terpaksa dengan semangat ’45 kusingsingkan lengan baju koko, ambil jaring, menangkap kodok lalu kusuruh pergi jauh… Uh!

(Jogja, 18 Agustus 2011)

(50)

Menjelang tengah malam, saat bulan sisa purnama masih di atap langit, acara peringatan malam Nuzulul Qur’an di kampungku baru usai. Mau menuntut ilmu cari pengalaman sekaligus untuk pengamalan tapi jadi kemalaman, dan bangun sahur kesiangan.

Tema tadi malam adalah Al-Qur’an sebagai pembeda yang haq dan bathil. Maka tema fajar ini adalah sepiring mie instan sebagai pembeda yang sahur dan tidak… Alhamdulillah, masih sempat sahur walau nabrak-nabrak

(Jogja, 19 Agustus 2011)

(16)

Memasuki sepertiga pungkasan Ramadhan, tahap krusial periode ora keroso (tidak terasa) di sisa Ramadhan, sebaik-baik tema utama adalah: Berburu malam kemuliaan…

Sejenak menengok ke lubuk terdalam kitab suci: Demikian sayangnya Tuhan kepada manusia sehingga diwajibkan berpuasa. Maka sepantasnya manusia membalasnya dengan cinta kepada Tuhannya, seolah berkata: Aku tahu, burungpun tahu, badaipun tak akan memisahkan kita, Ya Rabb..

(Jogja, 20 Agustus 2011)

(52)

Tak siapapun tahu kapan malam kemuliaan itu tiba. Tapi malam itu pasti tiba, sebab Lailatul Qadar tak kan ingkar janji, menebar berjuta cinta tak terdefinisi.

Pada malam itu para malaikat pun sibuk mondar-mandir naik-turun semalam suntuk, melangsir persediaan cinta yang bahkan tak kan pernah habis dibagikan, kepada siapa saja yang mengharapkan dan memburu cinta itu. Ya, cinta itu ternyata memang harus diburu… Andai semua manusia (mau) tahu tentang itu.

(Jogja, 20 Agustus 2011)

(53)

Alunan simfoni keagungan merebak ke celah-celah malam. Irama nafas penyerahan diri memohon ampunan. Hanya cinta yang didamba. Cinta Sang Pencipta kepada hambaNya yang meminta. Cinta yang mewujud dalam pemahaman paling tinggi, tak terhingga. Cinta yang menjelma dalam kebaikan selama lebih dari umur manusia.

Andai.., cinta seindah itu yang sekian lama ditunggu, tercurah sekali saja dalam hidup manusia di malam kemuliaan, itulah cinta yang tak tergantikan..

(Jogja, 20 Agustus 2011)

(54)

Ada sebulan waktu puasa di siang hari, waktu mulia bagi seorang hamba berada sangat dekat dengan Tuhannya. Tapi hanya ada satu malam seorang hamba memiliki kesempatan meraih keagungan cinta menggapai puncak kemesraan bersama Tuhannya yang sedang menunggu “dengan tidak sabar” untuk dirayu dan dicumbui pada malam itu, malam kemuliaan…

Sujud khusyuk merajuk, sebulan siangnya dan satu malamnya. Kepunyaan Allah-lah segala yang ada pada malam dan siang hari (QS. 6:13).

(Jogja, 21 Agustus 2011)

(55)

Buka puasa sederhana dengan menu secangkir kopi Aroma, jagung rebus dan kacang rebus. Sebagai penggemar berat makanan gorengan, selama bulan puasa ini saya berusaha menguranginya. Bayangkan, tubuh yang pengisiannya dikurangi selama puasa, tahu-tahu digelontor dengan menu minyak-minyakan. Uugh…, mengerikan!

Sebagai warga manusia setengah abad, saya sadar bahwa menu goreng-gorengan tidak menguntungkan bagi kesehatan.

(Jogja, 21 Agustus 2011)

*******

(56)

Anak lanang jatuh dari motor. Kepala, lutut, kaki, luka dan memar (pundaknya tidak). Minggu sore ibunya baru tahu. Pantesan, sejak Sabtu sore pamit tidur di rumah temannya dan tidak biasanya sampai sehari-semalam tanpa kabar. Rupanya dia ingin agar ortunya tidak tahu, tapi luka yang dialaminya tidak bisa disembunyikan.

Maka sibuklah ibunya bak perawat. Tinggal bapaknya siap-siap memberi kultum bak ustadz. Ingin tahu kajiannya? Ikuti setelah ini…

(Jogja, 22 Agustus 2011)

‎‎(57)

Belum dua hari anak lanang terkapar di rumah karena cedera jatuh dari motor. Mukanya masih bengkak tak berbentuk, lututnya masih sakit untuk jalan. Tahu-tahu bilang ke ibunya: “Aku mau latihan basket, boleh nggak?”.

Gubrax.., ibunya melongo tak berkata-kata. Bapaknya senyum saja. Terbersit sedikit rasa bangga. Bukan, bukan karena kenekatan anak lanang, tapi lebih karena masih mau minta ijin ibunya. Biar kuterjemahkan diamnya ibunya: “Apa maumu anakku?”…

(Jogja, 22 Agustus 2011)

(58)

Buka puasa hari ini lebih sederhana lagi. Secangkir kopi putih cap Luwak dan lima butir buah talok (kersen, ceri). Kopi putihnya beli 1 sachet @Rp 1000,- dan buah taloknya cari di pinggir jalan kampung, sebelum berebut dengan kelelawar saat maghrib tiba.

Buah talok sebagai pengganti kurma, bahkan lebih manis dari kurma. Cukup untuk pengganjal perut bekal sholat tarawih sebelum makan beneran sepulang tarawih.

(Jogja, 22 Agustus 2011)

(59)

Mbah Min (70 tahun), setiap hari dengan sepeda tuanya berkeliling dari desa ke desa, mencari rumput bagi kambingnya. Fisiknya masih terlihat kuat, bahkan di bulan puasa ini, di balik tubuh rentanya.

Setiap tiba waktu sholat Ashar, dia singgah di sebuah masjid dekat tokoku di Prambanan, Sleman. Yang membuat saya heran, begitu tiba langsung sholat Ashar, tidak perduli sudah adzan atau belum, berjamaah atau tidak, habis itu lalu pergi begitu saja…

(Jogja, 23 Agustus 2011)

(60)

Buka puasa hari ini dengan gaya berbeda. Secangkir kupi putih (white coffee) dengan sebuah, eh sebutir durian montong yang warnanya bak durian mentega, bijinya tipis kecil, dagingnya tebal dan kenyal, rasa manisnya pas takaran sesuai sensitifitas indra pencecap di lidah.

Lalu dimakan sebagai menu pembatal puasa dengan niat sebagai pengganti kurma… (mau diniatkan sebagai apa saja kan bolah-boleh saja). Sensasinya itu lho, hmmmm…

‎(Jogja, 23 Agustus 2011)

(61)

Niatnya hendak mengantar temannya ke acara bukber. Tahu-tahu ada sepeda motor keluar dari gang kecil, langsung mak kluwer… belok kiri tanpa tolah-toleh. Anak lanang pun kaget, tidak mampu mengendalikan motornya, lalu oleng dan jatuh terjerambab.

Situasi “nyaris” seperti ini sering terjadi. Betapa para penyepeda motor sering menganggap sepele detik-detik saat keluar dari gang lalu belok kiri tanpa memperhatikan lalulintas dari arah lain…

(Jogja, 23 Agustus 2011)

(62)

Subuh ini, langit bersih sekali. Kupandang langit penuh bintang bertaburan. Tampak olehku lebih cerah cahayanya. Itulah bulan sabit yang sedang memberitahu kepada segenap penghuni bumi, bahwa Ramadhan akan segera berakhir. Seolah berpesan: Jangan sia-siakan sisa waktu beberapa hari yang masih tersisa.

Pujilah Dia lalu mohonlah ampunan-Nya… Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni…

(Jogja, 24 Agustus 2011)

*******

(63)

“5 days to go”… Puasa kok ora keroso (tidak terasa). Waspadai fenomena ini! Jangan-jangan karena kita belum melakukan “apa-apa”, belum berjuang sungguh-sungguh untuk menangkap kebaikan Ramadhan. Masih ada sisa sedikit waktu lagi, 5 hari bukan waktu yang lama. Harus ada “apa-apa” yang kita lakukan.

Hanya mereka yang telah berjuang yang pantas berharap meraih kemenangan di Hari Fitri. Kalau tidak berjuang kok berharap meraih kemenangan. “No way!”, kata Tuhan.

‎(Jogja, 24 Agustus 2011)

(64)

Di penghujung Ramadhan
memasuki paruh kedua di sepertiga terakhir Ramadhan
Cuaca terasa lebih dingin
angin berhembus lembut
malam hening
nuansa khusyuk menyelimuti…

Telanjur berniat hendak bercumbu menggapai cintaNya
Telanjur berniat bermesraan denganNya
Tiba-tiba kondisi badan terasa drop, nggreges

Harus dilawan!
Sebab setiap kali niat baik dipancangkan
maka pada saat yang sama godaan pun mulai beraksi
Selalu begitu…

(Jogja, 24 Agustus 2011)

(65)

Aku ingin mencumbu kekasihku
Aku tidak ingin gagal meraih cintaNya
Kegagalan hari-hari kemarin harus dapat kutebus untuk kuselesaikan
walau cuaca buruk harus kulalui
Hingga sampai kepada tempat tertinggi (Al A’raaf)…

Para rasul Allah, Nuh, Hud, Shaleh, Luth, pada jamannya telah mengingatkan:
“Sembahlah Allah…” (QS. 7:49,65,73,85)
kepada kaumnya yang lebih mencintai berhala
Dan berhala-berhala itu masih akan tetap ada, menyesatkan para pemujanya.

(Jogja, 25 Agustus 2011)

(66)

Serangan flu bisa datang tiba-tiba. Tenggorokan gatal dan kering, badan meriang dan nggreges, bersin-bersin… Ini hari kedua aku bertempur melawan pasukan flu. Terasa semakin menjadi. Benteng pertahana dengan vitamin C dosis tinggi nampaknya tak mampu membendungnya.

Buka puasa hari ini kepingin bakso panas wal-pedas. “Biar ingusnya keluar semua”, kata istriku. Habis itu? Ya tetap saja nggak sembuh. Malah megap-megap…

‎(Jogja, 25 Agustus 2011)

(67)

“4 days to go”… Pertempuran melawan serangan flu terus berlangsung. Penghujung Ramadhan adalah masa-masa rawan terhadap serangan flu, sebab banyak pemburu malam kemuliaan yang kondisi fisiknya semakin menurun di perburuan lap-lap terakhir.

Wahai para pemburu malam kemuliaan, jaga stamina agar mencapai finish, sebentar lagi. Tetap dengan semangat ’45 menggapai kemuliaan yang dijanjikan Tuhan yang pasti tak kan ingkar janji.

(Jogja, 25 Agustus 2011)

(68)

Usai maghrib di pesantren dekat rumah, menyambut pak Kyai yang pulang umrah, badan terasa semakin nggak karuan. Terjadi pertentangan batin. Setengah hati menyuruh tetap berangkat tarawih. Setengah sisanya berkata: “Sampeyan lagi sakit, ada alasan kuat untuk absen. Istirahat saja di rumah, tidur atau leyeh-leyeh…”, katanya.

Tapi saya ingat, sekali alasan pembenaran saya setujui, segera akan disusul alasan-alasan berikutnya yang “sepertinya” juga benar… Tinggal pilih!

(Jogja, 25 Agustus 2011)

(69)

Akhirnya saya mengambil pilihan “tidak populer” untuk tetap berangkat tarawih. Tidak kubiarkan virus flu mengendalikan aktifitasku. Lalu sengaja kupilih tarawih yang 23 rakaat.

Sambil jalan ke masjid saya niatkan: “Setiap bacaannya kunikmati, setiap gerakannya kulakukan dengan benar. Setiap tarikan nafasku adalah masuknya energi positif dan setiap hembusannya adalah keluarnya energi negatif. Selebihnya mohon ijinmu Ya Allah bagi kesembuhan sakitku”.

(Jogja, 25 Agustus 2011)

(70)

Angin dingin berhembus agak kuat saat pulang tarawih. Sudah sembuh? Tentu tidak, saya toh tidak sedang main sulap. Tapi minimal saya bisa bilang kepada para virus flu: “Silakan kalau sampeyan ingin numpang di tubuhku. Tapi jangan pengaruhi aktifitasku”.

Kedengaran sombong. Tapi pandanglah dari sisi yang berbeda. Sebab itulah satu-satunya cara agar tidak terlena dengan alasan-alasan pembenaran yang hanya akan melemahkan. Perburuan malam kemuliaan harus berlanjut..!

‎(Jogja, 25 Agustus 2011)

(71)

Namun sungguh bukan urusan remeh-temeh untuk melawan flu. Pulang tarawih, mandi air panas, makan, minuman suplemen berkadar vitamin C tinggi, teh belimbing wuluh, jamu rebusan tanaman ciplukan, lalu pamit kepada istri. Lho mau kemana?

Bukan… Hanya pamit bahwa dalam beberapa hari ini tidak akan mengganggu tidurnya karena akan berburu malam kemuliaan. Malam-malam dimana saya akan bermesraan dengan Sang Pemilik Malam dan Siang (QS. 6:13).

(Jogja, 26 Agustus 2011)

(72)

Hari ini nampaknya menjadi puncak serangan flu. Pilek, hidung mampet, bernafas sesekali lewat mulut, badan masih nggreges. Kepinginnya dibawa tidur, tapi susah karena ingus menyumbat lubang hidung. Cuaca panas dengan udara kering terasa semakin menambah berat serangan flu dan nggak enak badan.

Sejauh ini saya masih bertahan menjauh dari obat kimia komersial, selain karena puasa tak boleh terusik hanya karena gangguan serangan virus flu.

(Jogja, 26 Agustus 2011)

(73)

Ada undangan wukwer (wuka wersama) dengan menu wewek wakar. Karena hidung tersumbat, suara jadi windeng (sengau), jadi susah mau mengucap kata bukber, bebek bakar dan bindeng.

Tempatnya di resto “Foodfezt” Jl. Kaliurang Jogja yang membawa tagline ‘Semacam Tempat Makan’, padahal ya memang tempat makan. Pilihan menunya kuwomplit karena ini tempat kolaborasi berbagai kedai makan. Enak citarasanya, layak harganya…

‎(Jogja, 26 Agustus 2011)

*******

(74)

“3 days to go”… Semakin dekat menuju penghujung Ramadhan. Ya, Ramadhan hampir habis, hari-hari penuh berkah dan kemuliaan itu hampir berlalu (Ini kata-kata retoris yang karena saking sering didengar jadi nyaris tak berarti apa-apa. Andai setiap orang tahu hakekatnya, tak kan sempat berpikir tentang mudik).

Dan malam ini, malam 27 Ramadhan. Sebuah malam yang bagi sebagian orang adalah malam yang sangat spesial dalam konteks malam kemuliaan (lailatul-qadar).

(Jogja, 26 Agustus 2011)

(75)

Ketika sampai pada kisah para nabi dan kaumnya, pada jamannya masing-masing (Nuh, Musa dan Yunus as, lalu Huud, Shaleh, Ibrahim, Syuaib dan Luth as, hingga Yusuf dan Ya’qub as), maka sesungguhnya pada kisah-kisah itu terdapat pengajaran (ibrah) bagi orang-orang yang mempunyai akal (QS. 12:111).

Inilah salah satu sindiran Allah yang cukup pedas melalui kitab suciNya…

(Jogja, 27 Agustus 2011)

(76)

Kosa kata yang lagi ngetop di media pada hari-hari ini, selain ‘Nazaruddin’ dan ‘korupsi’ adalah: ‘padat-merayap’ dan ‘ramai-lancar’… Entah kenapa tidak ada yang mencoba kata baru: ‘padat-ramai’, ‘padat-lancar’, ‘ramai-padat’ atau ‘ramai-merayap’. Padahal sama saja. Sama-sama membingungkan…

Masih lebih jelas dan nyata kalau dipilih rangkaian kata: ‘Nazaruddin-merayap’, ‘korupsi-lancar’…

(Jogja, 27 Agustus 2011)

(77)

Puji Tuhan wal-hamdulillah, hari ini serangan flu agak mereda. Nampaknya pasukan flu sudah merasa tidak betah singgah di tubuhku, karena terus kumusuhi agar tak nyaman berlama-lama.

Tak pernah kupenuhi keinginannya untuk mempengaruhi semangat pendakian Ramadhanku. Semangatkulah yang harus mempengaruhi virus flu agar segera angkat kaki dan tidak mengganggu misiku…

(Jogja, 28 Agustus 2011)

(78)

“2 days to go”… Perjalanan pendakian Ramadhan semakin mendekati puncaknya. Semoga malam kemuliaan bisa dinikmati. Andai pun tidak, karena tak seorang pun tahu kapan datangnya, maka peluang bisnis Ramadhan belum usai. Adrenalin makin tak terkendali menjelang summit attack ke puncak Ramadhan. Bersyukur karenanya.

Namun galau hati makin tak terkira. Apakah masih ada pendakian berikutnya. Maka pendakian ini harus berhasil.

(Jogja, 28 Agustus 2011)

(79)

Pendakian Ramadhan benar-benar sudah mendekati puncaknya. Semakin terasa melelahkan, tapi sungguh semakin terasa nikmatnya. Untuk pertama kali tadi malam aku ngantuk saat sholat tarawih. Tapi aku tidak boleh menyerah. Malam-malam indah di penghujung Ramadhan ini tak ingin kulepas begitu saja. Seperti belum puas aku bercumbu dan bermesraan dengan Sang Pemilik Kemuliaan.

Uugh.., semakin galau hati ini. Kepada fajar aku mendesah: Kemesraan ini janganlah cepat berlalu..

(Jogja, 28 Agustus 2011)

(80)

Mestinya semalam aku punya alasan untuk tidur lebih awal. Nguwantuk bangets (pakai ‘s’ di belakangnya…). “Sedang kamu masih flu”, kata para virus flu. Tapi kuyakinkan berkata: “Tidak”.

Aku masih rindu dengan Kekasihku. Tak kan kulewatkan menuntaskan percintaanku dengan Sang Penguasa Malam dan Siang, terlebih di penghujung Ramadhan ini. Walau paginya nyaris terlambat sahur, tapi aku bersyukur sebab pasukan flu menyerah dan telah kabur dari tubuhku…

(Jogja, 28 Agustus 2011)

*******

(81)

“Final day”… Sholat tarawih terakhir di malam terakhir Ramadhan ditandai dengan rasa kantuk yang amat sangat. Nampaknya stamina sudah kian menurun justru di etape terakhir menuju puncak pendakian. Puasa tinggal sehari lagi, menggapai puncak kemenangan di hari fitri yang insya Allah jatuh pada Selasa (30 Agustus 2011).

Bagi yang berhari raya Rabu, (31 Agustus 2011), masih ditambah sehari pendakian lagi. Tetap semangat meraih ampunanNya!

(Jogja, 28 Agustus 2011)

(82)

Syukurku.., memiliki kesempatan menapaki hari demi hari hingga tiba di ujung Ramadhan.
Syukurku.., dianugerahi kemesraan bersamaNya.
Syukurku.., merasa ingin lebih lama menikmati Ramadhan.

Tapi galauku.., segera akan berpisah dengan Ramadhan yang pasti akan kurindukan.
Galauku.., belum banyak bisa berbuat membalas kemesraanNya.
Galauku.., saat bermohon agar dicukupkan umurku untuk menjumpai Ramadhan berikutnya.

(Jogja, 28 Agustus 2011)

(83)

Sampailah pada etape terakhir pendakian Ramadhan. Semoga perjalanan panjang ini dapat kusempurnakan. Menggapai puncak kemenangan… Dalam sujud syukurku, dalam galau hatiku, menyelesaikan subuh terakhir, mengawali hari terakhir Ramadhan…

Masih tersisa waktunya, walau hanya sehari ini. Mencoba tidak surut, mencoba meraih sejuta kebaikan dan kemuliaan yang masih dapat digapai, sebelum senja terakhir tiba, di Ramadhan kali ini…

(Jogja, 29 Agustus 2011)

(84)

Summit attack menuju puncak pendakian Ramadhan… Akhirnya sampai juga pada saat yang membahagiakan. Selamat sampai di puncak kegembiraan Hari Fitri, 1 Syawal 1432H (Selasa, 30 Agustus 2011).

Bagi saudara-saudara yang masih akan menggenapkan 30 hari puasanya, masih ada sehari perjalanan harus ditempuh. Semoga selamat sampai tujuan. Allahu Akbar wa-lillahilhamdu (Allah maha besar dan segala puji hanya bagi Allah)…

(Jogja, 29 Agustus 2011)

(85)

Perjalanan hari terakhir Ramadhan terasa begitu terik panasnya, kerongkongan pun terasa kering merindukan siraman air es kelapa muda. Lebih-lebih harus diwarnai dengan aktifitas angkat-junjung stok barang di toko hingga keringatan. Uuuf, begitu bersemangat dan menyenangkan. Ya, karena hal itu berarti tokoku laris-manis (hehe…).

Selalu begitu… Maksudnya, sedang untuk meraih kemenangan saja banyak godaan, apalagi mengawali perjuangan…

(Jogja, 29 Agustus 2011)

(86)

Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, sampailah pengusaha ritel pada saat yang menggembirakan, yaitu timing jelang lebaran.

Menangkap peluang bisnis Ramadhan dengan berjuta kebaikan yang dijanjikan Tuhan adalah sebuah keniscayaan karena Tuhan tak pernah ingkar janji. Dan menangkap peluang bisnis lebaran dengan berjuta omset yang dihasilkan adalah keniscayaan lain bagi orang-orang yang mau bekerja keras karena Tuhan pun tak kan ingkar janji dengan sunatullah-Nya.

(Jogja, 29 Agustus 2011)

(87)

“Selamat Idul Fitri 1432H – Mohon Maaf Lahir Dan Batin”…

Semoga kita termasuk ke dalam golongannya orang-orang yang kembali kepada kesucian serta meraih kebahagiaan dan kemenangan…

Fajar Idul Fitri telah menandai awal dari perjalanan dan perjuangan panjang 11 bulan berikutnya hingga kembali menjemput Ramadhan. “Ya Rabb, pertemukanlah kembali kami dengan Ramadhan…”.

(Jogja, 30 Agustus 2011)

‎*******

(88)

Uang zakat maal sudah disiapkan, mau disalurkan melalui Amil di masjid dekat toko. Ndilalah, sampai sana telat, masjid sepi dan panitianya kabur entah kemana. Beralih ke masjid yang satu lagi. Ndilalah lagi, panitianya juga sudah bubar jalan. Ke masjid lain, keburu maghrib. Lalu mau diapakan uang ini?

Bukan salah saya kalau uangnya saya bawa pulang lagi, salahnya panitia keburu bubar. Tapi pasti, saya salah kalau kemudian zakat tidak jadi ditunaikan.

(Jogja, 30 Agustus 2011)

(89)

Sore jelang maghrib hari terakhir Ramadhan. Mau menyalurkan zakat maal ke sebuah Panti Asuhan, kok ya alamat lokasinya susah dicari. Bolak-balik di Jl. Ring Road Selatan, Jogja.

Bukan soal zakatnya. Kalau itu siapapun bisa melakukan dengan jumlah nominal lebih banyak, kalau punya uang dan mau membayarkannya. Tapi tidak semua orang mau repot melakukannya dan bersusah-susah mengantarkannya sendiri ke alamat yang bahkan susah dicari.

(Jogja, 30 Agustus 2011)

(90)

Setelah tanya sana-sini, tibalah di Panti Asuhan Balita “Gotong Royong”, Tegal Krapyak, Sewon, Bantul. Di rumah berdinding bambu itu ada 20 anak balita yang diasuh oleh ibu-ibu masyarakat sekitar. Anak-anak itu sudah “diserah-terimakan” oleh ortunya yang tidak mampu membiayai hidupnya, menanti ada ortu “baru” yang akan mengadopsi. Sejak berdiri tujuh tahun yll, lebih 60 anak sudah diadopsi.

Atas inisiatif anak wedok, ke situlah saya salurkan zakat maal kemarin.

(Jogja, 30 Agustus 2011)

(91)

Saat saya dan anak wedok hendak masuk ke rumah kontrakan Panti Asuhan Balita itu, nampak beberapa anak usia 1-2 tahun berebut melongokkan kepalanya ke jendela (tanpa daun) melainkan celah-celah bambu. Begitu masuk, anak-anak itu berebut minta digendong.

Uuugh… Kami tak sempat berkata-kata, bahkan untuk menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan kami. Saat berpamitan, seorang anak bahkan tidak mau lepas dari gendongan anak wedok…

(Jogja, 30 Agustus 2011)

(92)

Malam lebaran adalah malam panen raya bagi pengusaha ritel. Jamaknya, toko-toko akan memperpanjang jam operasi alias menunda waktu tutup toko guna memfasilitasi pembeli yang masih sibuk mencari kebutuhan lebaran. Jika kemudian pemasukan juga melonjak, maka itulah dampak yang wajib disyukuri.

Tak terkecuali saya dan “boss” saya, perlu menemani pegawai toko hingga larut malam baru pulang. Antara lain, ya untuk mengurusi dampak itu…

‎‎(Jogja, 30 Agustus 2011)

(93)

Sukses menyelesaikan sebulan perjalanan pendakian Ramadhan hingga mencapai puncaknya di Hari Fitri adalah satu hal. Mempertahankan kesuksesan adalah hal lain yang nampaknya justru lebih berat. Menjaga semangat, kekhusyukan, kualitas, keikhlasan, 11 bulan kemudian secara ajek dan konsisten (istiqomah), hmmm…

Kalau harus jujur, hati kecil berkata malu-malu: “Nggak janji…”. Tapi sebaiknya waspada, jangan sampai Tuhan berkata hal yang sama.

(Jogja, 30 Agustus 2011)

(94)

Ketika ada seorang tetangga yang saya pandang layak disantuni, saya bilang kepada “boss” saya: “Tolong bapak itu dikasih zakat maal”.

“Boss” saya berkata: “Tapi dia non-muslim”.
“Tidak ada hubungannya dengan harga tomat gondol!”, kataku cepat.

Menyadari ekspresi bicaraku yang nadanya terdengar terlalu keras, lalu kulembutkan: “Kalau begitu ganti judulnya… Sedang Tuhan saja membagi girik rejeki tak pernah mempersoalkan agama di KTP mahluknya”.

(Jogja, 30 Agustus 2011)

(95)

Jangan rayakan lebaran tanpa lontong-opor. Itulah “ajaran” tradisi sejak Belanda belum tiba. Sudah dipesankan ayam kampung, nggak tahunya sama ibunya anak-anak malah dimasak gulai ayam. Bukan nggak enak rasanya, hanya serasa lebaran jadi kurang afdhol…

Terpaksa ngluruk (bertandang) ke rumah mertua numpang makan lontong wal-opor ayam plus sambal goreng krecek. Wauw…

(Jogja, 30 Agustus 2011)

(96)

Ketika perjalanan pendakian Ramadhan hampir mencapai puncaknya, seorang sahabat muda berpamitan minta didoakan mau mulai pendakian ke gunung Rinjani, agar pendakiannya diberkahi. Tentu saja kusemangati dan kudoakan, sambil kuwanti-wanti: “Jaga sholatnya”. Lho, apa hubungannya?

Kalau bisa menjaga sholatnya, maka Tuhan akan mengambil-alih penjagaan atas dirinya… Selamat mendaki untuk mbak Prapti (Sleman) dan mas Hamzan (Mataram).

(Jogja, 30 Agustus 2011)

(97)

Memasuki lebaran ini tidur terasa lebih lelap, nyenyak, nikmat. Serasa baru lepas dari beban berat. Padahal justru beban lebih berat mestinya menghadang di 11 bulan mendatang.

Kalau selama Ramadhan beban berat karena kondisi fisik terkuras untuk ibadah fisik. Kini beban berat karena kondisi mental tertantang untuk ibadah mental mempertahankan ruh Ramadhan dalam keseharian secara ajek (istiqomah). Maka waspadai kenikmatan yang melenakan ini…

‎(Jogja, 31 Agustus 2011)

(98)

Salah satu kata kunci di seputaran Idul Fitri adalah silaturrahim. Di penghujung Ramadhan kemarin tiba-tiba seorang teman SMP mampir ke toko dalam perjalanan mudiknya. Alhamdulillah, hampir 35 tahun kami tidak bertemu, tahu-tahu nyambung lagi.

Dan luar biasanya silaturrahim adalah berlakunya “efek domino”. Ketika satu tali silaturrahim terbuka maka silaturrahim dengan teman-teman lain yang sudah dianggap “hilang” pun nyambung lagi (Salam untuk mas Novianto di Malang).

(Jogja, 31 Agustus 2011)

(99)

Ketika menerima puluhan SMS ucapan Idul Fitri, maka itu peristiwa yang lazimnya disambut dengan sukacita. Namun ketika satu diantaranya dikirim oleh seseorang di kaki Merapi yang pernah saya kirimi bantuan yang berasal dari para sahabat, sungguh ada rasa dan nuansa batin yang beda. Sebab ucapan itu hakekatnya adalah ucapan “tak tersampaikan” yang mestinya untuk para sahabat saya itu.

Semoga ruh Ramadhan dan kepedulian terhadap sesama tak padam oleh waktu.

(Jogja, 31 Agustus 2011)

*******

Ada Maling Di Tokoku

30 Juni 2011

Pengantar:

Seseorang tak di kenal gagal melakukan upaya percobaan pencurian di toko saya “Madurejo Swalayan”, Prambanan, Sleman, Yogya Istimewa, pada tanggal 2 Juni 2011 dini hari. Cerita itu saya tulis di Facebook pada tanggal 2-4 Juni 2011 dalam beberapa penggalan cerita status. Berikut ini rangkaian ceritanya.

***

(1)

Menjelang jam 3 dini hari di libur Kenaikan Isa Almasih, seseorang melompati pagar setinggi 3 m menggunakan tangga dari kebun belakang rumah tetangga toko Madurejo. Kemudian menuju bangunan di belakang toko, tolah-toleh sana-sini, mengintip ruang kantor, memeriksa pintu dan jendela, lalu naik ke lantai 2. Sekitar lima menit kemudian turun dari lantai 2.

Agaknya tadi melakukan slow motion, mengendap-endap, mengintip si penunggu toko yang tidur di lantai atas.

(2)

Seseorang yang agaknya ingat kalau sedang tanggal muda itu kemudian berjalan perlahan meninggalkan bangunan toko menuju ke bagian belakang. Mungkin memeriksa gudang di belakang yang kondisinya sedang kosong. Sekitar lima menit kemudian kembali lagi.

Aha.., dia kini mengenakan topi yang dipakai terbalik, bagian depan topinya menghadap ke belakang. Entah mengapa dia meloncati lubang jendela teras kantor, padahal ada ruang terbuka yang lebih mudah. Rupanya kini membawa obeng.

(3)

Dua jendela kantor dicoba dicongkel tapi gagal. Pintunya juga tidak bisa dibuka. Lalu mencoba membuka pintu belakang toko, juga gagal.

Merasa kurang nyaman, seseorang berjaket hijau dengan topi terbalik itu lalu kembali menuju tangga ke lantai atas. Barangkali ingin memastikan si penunggu toko masih terlelap. Dengan menggunakan senternya dia pun melompati barang-barang yang masih tergeletak di ujung bawah tangga, lalu mengendapendap naik.

(4)

Pada saat yang sama, si penunggu toko yang tidak lama sebelumnya baru kembali dari toilet di lantai bawah mendengar ada suara mencurigakan di bawah. Dia pun lalu waspada memasang pendengarannya tajam-tajam. Dia lalu memutuskan untuk memeriksanya. Dia bergerak keluar kamarnya, berjalan mengendap-endap menuju ke tangga. Pelan-pelan dilongokkan kepalanya mengintip ke bawah dari ujung atas tangga.

(5)

Waaa.., betapa kagetnya ketika dalam keremangan dilihat ada seseorang yang juga sedang mengendap-endap naik. Orang itu pun tak kalah kagetnya ketika tahu aksinya dipergoki.

Seperti adegan “Tom & Jerry”, seseorang tak di kenal itu langsung bubar jalan, turun dengan panik melompati tumpukan barang, lari sipat kuping (kencang) ke arah belakang, menembus kegelapan, menuju pojok halaman dimana ada bak sampah. Agaknya dia tahu ada posisi bagus untuk lompat pagar.

(6)

Sesaat kemudian si penunggu toko menyusul sambil teriak-teriak sekenanya. Namun dia memutuskan balik lagi mengambil senter dan membangunkan temannya. Dia khawatir kalau orang tak dikenal itu membawa senjata tajam dan berbuat nekad.

Tentu saja dia kehilangan banyak waktu. Orang tak dikenal itu sudah hilang ditelan malam. Sementara si penunggu toko memeriksa sekeliling halaman. Ketemu dengan pak tani yang sedang mengalirkan air di sawah yang tentu saja tidak ngeh.

(7)

Semua adegan di teras kantor dan belakang toko itu terekam oleh kamera CCTV toko “Madurejo Swalayan”. Sore tadi saya buat copy-nya untuk dilaporkan ke pak polisi Polsek Prambanan, tentang adanya percobaan pencurian. Walau tidak terlihat detil, tapi prejengan (profil wajah) dan postur tubuhnya cukup mudah dikenali.

Segenap pegawai pun saya kumpulkan untuk briefing tentang langkah antisipasi yang harus dilakukan, karena orang itu pasti akan kembali…

(8)

Orang itu pasti penasaran, maka dia akan belajar lebih baik untuk mengulangi. Entah kapan dan dengan cara apa.

Maka langkah antisipasi yang utama tentu saja meningkatkan kewaspadaan di semua bidang. Setelah itu, ada langkah pencegahan secara fisik dan non-fisik (kalau disebut metafisik asosiasinya jadi lain). Secara fisik adalah memperbaiki sistem pengamanan. Secara non-fisik adalah ndongo (berdoa) memohon perlindungan Tuhan sekaligus berserah menitipkan kepada-Nya.

(9)

Menyadari bahwa selalu saja ada hal-hal yang dapat terjadi di luar kontrol manusia, maka itulah perlunya langkah non-fisik. Sehebat-hebatnya upaya pengamanan, selalu ada celah yang dapat ditembus. Maka ndongo (berdoa) adalah upaya untuk menambal celah itu dan biar Tuhan yang melakukannya.

Kalau memang Tuhan mengijinkan celah itu ditembus orang jahat, maka pasti Dia sudah menyediakan kompensasinya. Maka dalam berbisnis pun sebaiknya melibatkan Dia serta semua system-Nya…

(10)

Tentang maling yang misinya gagal itu rupanya saat kabur meninggalkan sepasang sandal jepit warna hijau. Kutanya pada penunggu tokoku: “Mau dibuang atau dipakai?”.

“Saya pakai saja, pak”, jawabnya.

Yo wis… Kalau tidak, mau kubakar sambil kubaca-bacain (baca koran yang untuk membakar maksudnya). “Ben kobong silite…”, kataku.

Siapa tahu bisa membuat (maaf) duburnya terbakar. Bisa meloncat-loncat seperti jaran (kuda). Bisakah? Ya siapa tahu saja bisa…

(11)

Haha… ‘Boss’ saya dan penunggu toko tertawa ngakak mendengar gurauanku. Padahal saya mengatakannya sambil serius. Tentu saja saya tidak berharap itu terjadi. Si maling sudah berbaik hati “terpaksa” menyedekahkan sandalnya, masak mau dibalas dengan yang lebih buruk. Sementara tidak ada sedikitpun kerugian diderita, kecuali rasa jengkel diperdaya begundal iseng.

Perburuan sedang dilakukan. Mudah-mudahan berhasil agar cerita ini ada lanjutannya.

(12)

Pak polisi sudah mendatangi TKP. Kami pun membantu dengan memberikan info yang diperlukan. Kalau nantinya bisa dilacak, diburu dan ketahuan siapa pelakunya, lalu apa? Ya tidak ada apa-apa…

Tidak ada angan-angan untuk menghakimi sendiri (saya takut jadi hakim), melainkan hanya ingin mengingatkan agar jangan coba-coba mengulangi perbuatan nakalnya (mengingatkan tapi mengancam). Lebih dari semua itu, pencegahan dan kewaspadaan tetap harus diutamakan.

(13)

Ketika ngobrol-ngobrol dengan tetangga toko tentang insiden pencurian itu, seseorang bercerita bahwa di Yogya banyak toko-toko yang “dipagari”. Saya jelaskan bahwa toko saya pun sudah dipagar keliling setinggi 3 m. Itu yang kelihatan. Kalau yang tidak kelihatan sudah saya mintakan Tuhan untuk memagari dan saya pasrah bongkokan (total) kepada-Nya.

Maka kalau suatu saat Tuhan kok mengijinkan ada begundal iseng menerobos pagar bikinan-Nya. Ya monggo… Saya pun bisa tidur nyenyak.

(Note: Seorang teman menyarankan agar dipasang sensor gerak untuk mendeteksi gerakan orang tak diundang di saat yang tidak wajar. Tapi saya pikir-pikir, jangan-jangan nanti sistem keamanan toko saya lebih canggih ketimbang bank…hehe)

Yogyakarta, 2-4 Juni 2011
Yusuf Iskandar

Mendadak Bikin Kolam Koi

5 Juni 2011

Nampaknya ibunya anak-anak sudah tidak sabar, kebelet ingin memiliki kolam ikan koi di halaman depan rumah. Padahal sudah kupesan agar agak bersabar karena tidak sesederhana yang dibayangkan. Biar saya pelajari dulu seluk wal-beluknya karena saya belum memiliki ilmunya. Tapi keukeuh saja.

Di pikirannya: “Seberapa susahnya sih bikin kolam berbentuk kotak lalu diisi air?”. Disangkanya seperti bikin bak mandi… Ya ada benarnya juga sih, seberapa sulitnya kah?

***

Akhirnya, dipanggilnya sendiri tukang batu, diminta membuat kolam. Tukangnya ya senang-senang saja wong diberi pekerjaan. Tadinya mau kucuekin saja, terserah mau jadi kolam ikankah, kolam renangkah… Tapi kupikir-pikir lagi, kalau nanti kolamnya ada masalah, saya juga yang repot. Terpaksa, huuuhh.., turun tangan juga.

Segera saya lakukan riset di internet tentang ikan koi dan desain kolamnya. Seorang saudara pun saya hubungi untuk konsultasi. (Nuwun untuk Om Hanif).

***

Seharian tadi harus mengawasi tukang yang mulai menggali-gali tanah untuk kolam, mengatur-atur ukurannya, batasnya, dsb. Pada saat yang sama mencorat-coret rancanganya, menghitung kebutuhan bahannya, mempelajari referensi dan konsultasi dengan seorang yang sudah pengalaman. Praktis tidak ada pekerjaan berat yang sebenarnya saya lakukan, tapi kok terasa capek juga… Tapi kenapa harus dipikir sendiri?

***

Ya, itu masalahnya. Ibunya anak-anak ini telanjur yakin bahwa itu bukan hal rumit. “Tinggal bikin saja, kalau harus dikuras ya kuras saja…”, pikirnya.

Weleh..! Karena sudah terbayang nantinya saya juga yang bakal repot, maka saya perlu membuat kriteria. Pertama: didesain untuk ikan koi. Kedua: sejarang mungkin dikuras. Ketiga: instalasi kabel listrik, pipa-pipa dan sirkulasi air rapi. Keempat: estetika terjaga. Maka jelas tidak sesederhana membuat bak mandi…

Yogyakarta, 23 Mei 2011
Yusuf Iskandar

Kisah Tentang Sambal Terasi Goreng Dan Belimbing Wuluh

27 Mei 2011

Pengantar:
Catatan berikut ini adalah penggalan-penggalan cersta (cerita status) yang pernah saya tulis di Facebook selama periode tanggal 8 s/d 18 Mei 2011. Saya hanya ingin berbagi cerita pengalaman. Semoga menginspirasi.

——-

Sambal Terasi Goreng

Sambal terasi goreng untuk sarapan Minggu pagi. Benar-benar sambal yang komponen standarnya “mbok siyah” alias lombok, terasi dan uyah (garam) dimana lombok, terasi dan bawang merah digoreng terlebih dahulu sebelum diulek. Untuk variasi rasa dapat ditambah belimbing wuluh.

Dimakan dengan nasi putih panas. Sensasi hmmm-nya.., terasa saat memainkan jemari untuk muluk (mengambil dengan lima jari) lalu mengantarnya ke mulut. Jadikan telur dadar dan terong goreng sebagai asesori. Uuuhhhmmm….!

***

Sambal terasi goreng (kalau saya sebut sambal goreng saja, bisa diasosiasikan salah, untuk menu yang berbeda) adalah menu yang sarat rasa nostalgia. Inilah menu andalan keluarga kami pada tahun-tahun 1965-1967 di masa-masa sulit jaman peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Selain menu nasi jagung, maka sambal terasi goreng adalah lauk andalan ketika sedang ada nasi. Sesekali ditambah potongan kecil telur dadar karena sebutir telur harus dibagi-bagi.

***

 

Tampilan sambal terasi goreng memang tidak menarik, pucat kecoklatan. Dulu, almarhum ibu suka sengaja tidak mengulek hingga halus benar, agar masih tampak suwiran cabe merahnya yang membangkitkan nafsu makan. Ada semburat rasa manisnya karena waktu mengulek dibubuhi sedikit gula pasir sebagai penyedap pengganti micin atau motto.

Sepertinya itulah menu sarapan terenak yang kami rasakan, karena tidak pernah tahu bahwa di luar sana ada juga menu yang lebih enak.

***

Kini, menu sederhana ini tetap mampu membangkitkan gairah makan. Pertama karena menikmati taste-nya, kedua karena nostalgianya (nilai lain di baliknya), ketiga karena tidak membandingkan dengan yang lebih melainkan yang kurang.

Well, maka ketika saya sedang dihadapkan dengan situasi (apapun) yang tidak mengenakkan. Saya akan berusaha membangkitkan ketiga hal itu untuk memanipulasinya agar menjadi mengenakkan. Walau secara fisik tidak membuktikan, namun secara rasa menentramkan.

***

Masih kisah tentang sambal terasi goreng. Minggu malam ini saya lihat sambalnya masih tersisa banyak. Wah, dibuang sayang. Sedang kondisi sambal masih baik dan sangat layak terbang dari cobek ke mulut, untuk makan malam.

Nasi sepiring langsung ludes. Lha kok telur dadar dan terong gorengnya masih ada, sepiring lagi nasi putih tandas. Lalu istri saya bilang: “Habiskan saja nasi dan telornya”. Ya terpaksa piring seisinya kloter ketiga buablasss…

***

Sambil menghabiskan isi piring trip ketiga, sang koki yang maha karyanya sedang saya nikmati itu cerita tentang tips untuk improvisasi. Katanya: “Kalau terasinya tidak ikut digoreng tapi dibakar, juga woenak“. Kalau begitu lain kali harus dicoba.

Tapi ada satu lagi ganjalan saya. Biasanya pakai jeruk sambal, tapi ini kok pakai belimbing wuluh? Rupanya ada satu rahasia lagi. “Itu resep kebiasaan orang Flores kalau bikin sambal”. Lho kok malah istriku tahu?

***

Belimbing wuluh yang digunakan istri saya berasal dari pohon yang ada di depan rumah mertua, di dekat toko. Sambil ngurusi toko, istri saya memperhatikan ada tetangga asal Flores yang sering sekali minta belimbing wuluh, bahkan di malam hari. Karena penasaran, ditanyalah untuk apa. Ternyata jawabnya adalah untuk dicampur sambal dan itu adalah tradisi masyakarat Flores.

Maka diam-diam istri saya mencoba di rumah. Hasilnya? Memang beda suwwedap-nya…

***

Awalnya agak ragu. Dengan diperasi jeruk sambal saja sudah asam, lha kok malah diganti belimbing wuluh yang kecutnya minta ampyuuun…

Cobalah menggigit belimbing wuluh, digaransi Anda akan nyengir dan mata akan kiyer (memicingkan sebelah mata), sangking kuwwecut-nya… Belimbing wuluh cukup dipenyet tidak sampai diulek halus. Katanya cocok untuk sambal apa saja. Uuufff, air liur pun.., mak cesss…!

——-

Belimbing Wuluh

Belimbing wuluh, tumbuh di halaman sempit rumah mertua di Bintaran, Jogja. Memandang buahnya, lalu membayangkan menggigitnya saja gigi sudah terasa ngilu… Rasa airnya benar-benar kuwwecuut poll….

***

Daun pohon belimbing wuluh. Daunnya kecil-kecil, tapi tangkai daunnya terangkai sedemikian tertata rapi menakjubkan, di setiap ujung batangnya. Di batangnya itulah bergelantung menggerombol buah belimbing wuluh yg berbuah lintas musim. Apapun musimnya, belimbing wuluh tetap kuwwecuut membuat air liur mak cesss

***

Tentang pohon belimbing wuluh di depan rumah mertua itu sendiri ada kisahnya (haha, mendongeng lage.., salah sendiri dibaca) –

Pohon itu berumur puluhan tahun. Ketika rumah hendak direnovasi karena rumah lama nyaris rubuh oleh gempa Jogja tahun 2006, pohon itu mau ditebang. Alasannya? Daunnya yang kecil-kecil bikin kotor saja, buahnya tidak bisa dinikmati seperti buah umumnya dan menuh-menuhin halaman yang memang sempit. Intinya, tidak bernilai ekonomis.

***

Mendengar pohon mau ditebang, saya mengusulkan agar sebaiknya jangan. Alasannya? Ada nilai ekonomis intangible yang untuk memahaminya dibutuhkan “ngelmu gaib”.

Pertama, belimbing wuluh banyak diperlukan orang tapi sudah tidak banyak yang menanamnya. Kedua, pohon itu warisan almarhum bapak mertua, maka selama para tetangga, pengunjung toko atau orang lewat meminta buah itu, selama itu pula kebaikan amal jariyah almarhum bapak mertua terus mengalir.

***

Apa artinya? Bahwa amal jariyah itu tidak berkorelasi dengan atau berkonotasi sebagai sesuatu yang mahal dan sulit. Bahwa almarhum bapak mertua barangkali tidak pernah berencana, tapi niat tulus ahli warisnyalah yang menjadikan peninggalan “tidak sengaja” itu menjadi amal yang berkesinambungan (dari dunia sampai akherat berjajar belimbing wuluh, sambung-menyambung menjadi satu, itulah amal jariyah). Sungguh ini kejadian sangat jamak tapi tidak banyak yang ngeh menangkap nilainya.

***

Akhirnya benang merah dari dongeng saya ini, bagi kita yang badannya masih mengandung hayat, masih bisa menikmati mak nyusss-nya sambal terasi goreng atau mak cesss-nya air belimbing wuluh, masih sempat pikir-pikir seperti pesakitan mau banding atau kasasi… Adalah mempersiapkan apa yang dapat diwariskan, sengaja atau tidak sengaja, menjadi amal jariyah. Harta, ilmu, karya, kemudahan atau kebaikan lainnya yang bakal berkesinambungan. Insya Allah…

——-

“Blimwul Tea”

Usai jum’atan, makan siang, duduk di depan komputer toko, menginput data barang. Lha kok kepala teklak-tekluk mata riyep-riyep ngantuk… Haha, langsung ingat. Salah satu manfaat belimbing wuluh adalah untuk obat ngantuk.

Coba bayangkan, kupetik sebuah, kugigit, kuhisap airnya… Huuhh, kuwwecuut-nya… Digaransi ngantuk lenyap seketika tanpa biaya tanpa efek samping. Yaa, kadang-kadang ada efek belakang, perut mulas kalau kebanyakan…

***

Tenggorokan terasa gatal menyebabkan batuk-batuk yang terkadang di luar kendali. Kalau cuaca badan sedang seperti ini enaknya minum lemon tea alias teh hangat diberi perasan jeruk nipis. Berhubung stok jeruk nipis di rumah sedang habis, saya ganti dengan belimbing wuluh. Lho kok enak…

Waaa, belimbing wuluh lagee… Ternyata minuman “blimwul tea” (teh belimbing wuluh yang belimbingnya dicacah-cacah) juga top-markotop bin sip-markosip…

***
Masih lanjutan cerita tentang belimbing wuluh… Menikmati Sabtu pagi dengan menyeruput segelas “blimwul tea” (teh belimbing wuluh). Hmmm, benar-benar mak nyosss karena fanas (sengaja pakai ‘f’). Belimbing wuluh yang kalau digigit asamnya minta ampyuuun... itu ketika disayat tipis-tipis lalu dicampur ke dalam segelas teh panas, asamnya lenyap berubah menjadi uuuhhmm… (susah dilukiskan dengan kata-kata).

***

Menikmati pagi dengan nyruput “blimwul tea” (teh belimbing wuluh). Ini minuman teh biasa yang dicampur dengan irisan buah belimbing wuluh. Citarasa tehnya biasanya kalah sama sensasi asam dari belimbing, tapi suwedaaap tenan… (By the way, belimbing wuluh ki coro londone oppo yo…?)

Yogyakarta, 8-18 Mei 2011
Yusuf Iskandar

Indah Tetes Pertamanya

10 Mei 2011

[1]

Hujan tumpah sejak fajar tanpa jeda. Anak-anak pada terlambat ke sekolah. Burung-burung yang bersarang di bubungan rumahku bercericit di sela atap, tidak bisa bermain seperti biasanya. Mestinya sudah masuk musim kemarau. Ternyata masih ada hujan tertinggal yang belum tuntas ditumpahkan.

Matahari yang sudah lebih sepenggalah perjalanan jadi terlambat munculnya, menunggu giliran menggantikan hujan. Ada apa dengan hujan?

[2]

Hujan hanyalah tetes air yang berbondong-bondong turun dari langit. Setiap tetes hujan itu menimbulkan suara. Ketika dia lepas dari kawanan awan di angkasa, menghunjam pada apapun yang ada di bumi dan memercik lalu pergi menuju kerendahan.

Suara setiap tetes pertama di awal hujan itu begitu indah. Tapi aku tidak pernah berhasil mengingatnya. Semakin kuingat, semakin kusesali, sebab kesempatan itu datang begitu cepat, hanya sesaat.

[3]

Dalam hidup ini selalu tersisip kesempatan indah, apapun bentuknya dan darimanapun datangnya. Seperti tetes pertama air hujan yang datang tiba-tiba yang membuat aku kelabakan mencari tempat berteduh sehingga lupa pada keindahan orkestrasinya.

Kesempatan indah itu selalu ada, sering ada. Tapi aku selalu terlambat menyadari hadirnya dan selalu kesulitan menunggu kembalinya agar dapat menikmatinya. Acapkali aku gagal menangkap keindahannya, barang seberkas saja…

[4]

Padahal kesempatan indah itu berulang muncul seperti panggilan adzan bersahutan dari waktu ke waktu, dari timur ke barat, seiring dengan perputaran waktu.

Adakalanya hujan ditunggu datangnya, seperti kodok merindukan hujan. Ketika kesempatan itu datang tapi kemudian terlewati, adakalanya hujan ditunggu redanya seperti ayam merindukan matahari fajar. Agar ketika hujan kembali turun akan sempat menikmati indah tetes pertamanya.

Yogyakarta, 5 Mei 2011
Yusuf Iskandar

(Catatan : Prosa di atas saya tulis ulang dari cerita status saya di Facebook)

Menghitung Langkah

4 Mei 2011

Pengantar:

Berikut ini catatan iseng saya ketika tiba-tiba ingin sekali melakukan sesuatu yang berbeda dan ingin tahu pelajaran apa yang dapat saya petik dari sana. Saya tidak keberatan kalau dikatakan apa yang saya lakukan ini kerjaannya orang yang tidak ada kerjaan (hehe…, memang). Saya hanya ingin berbagi sesuatu yang beda yang tidak akan Anda dapatkan dari orang waras mana pun. Catatan ini telah saya posting sebagai cersta (cerita status) di Facebook.

——-

(1)

Terobsesi ingin melakukan sesuatu yang beda di Senin awal Mei. Pergi ke toko berjalan kaki santai (tapi ya tetap saja tidak bisa santai wong di tengah hari melintasi lalulintas ramai). Jaraknya sekitar 3 km. Kuniati mau kuhitung berapa langkah kutempuh dengan menerobos jalan-jalan kampung.

Walhasil, kira-kira 3700 langkah kujalani. Ya, kira-kira.., karena hitunganku salah mulu… Maklum, mengandalkan memory dengan chip jadul yang tidak mungkin di-upgrade.

(2)

Baru berjalan sekitar 500 m ketemu tetangga yang mengajak ngobrol, hitungan jadi lupa. Menyeberang perempatan ramai, tolah-toleh dan waspada, hitungan pun jadi ragu. Tersandung batu dekat kuburan, hitungan kacau lagi. Berhenti dulu karena ada mobil atret: “Waduh, sampai berapa tadi?”. Yang paling repot ketika salah ambil jalan kampung. Berbalik, berarti menambah langkah. Terus, khawatir salah. Berhenti mikir dulu dan mengingat hitungan, kok seperti orang bingung…

(3)

Rupanya memang tidak mudah untuk menjadi pejalan kaki (bisa saya bayangkan mereka yang tiap hari harus jalan kaki di kota besar). Jauh lebih enak berjalan kaki di desa, hutan dan gunung walau harus melawan kondisi jalan buruk atau topografi naik-turun. Sedang berjalan kaki di kota harus selalu memasang status ekstra waspada terhadap arus lalulintas yang serba buru-buru.

Maka kucoba mencari “short cut” jalan kampung untuk mengurangi jumlah langkah dan sekaligus melakukan orientasi.

(4)

Kira-kira 3700 langkah saya jalani, termasuk koreksi saat saya lupa hitungan. Bukan soal jumlah langkahnya, karena siapapun dapat melakukan itu (kalau mau..). Saya hanya ingin mengatakan bahwa kemampuan otak untuk mengingat ternyata sangat terbatas (apalagi otak tua). Bahkan yang baru saja terjadi pun rentan untuk lupa ketika terintervensi kejadian lain.

Maka menulis adalah alat bantu untuk mengingat, apa saja. Hanya uang di kasir toko yang saya tidak pernah lupa hitungannya

(5)

Sukses melakukan sesuatu yang beda dengan berjalan kaki ke toko melintasi kampung dan jalan ramai. Menghitung langkah saya lakukan tapi tidak sepenuhnya berhasil. Pesannya adalah jangan mengandalkan otak untuk mengingat semua hal. Percayalah, tidak akan mampu. Apalagi otak ber-IQ mentok plafon seperti saya.

Bahkan saya sering kesulitan mengingat-ingat telah mengeluarkan uang untuk apa saja sehari ini. Padahal jumlahnya segitu-segitu juga, apalagi kalau jumlahnya sak hohah…(buanyak).

(6)

Solusinya? Mencatat atau menulis apa saja pada media apa saja, agar hal-hal yang penting tidak terlewatkan. Dulu sebelum ada HP saya suka menuliskan di meja yang saya lapisi kertas, sampul buku atau bungkus rokok.

Sekarang saya gunakan HP. Malah sering disindir istri: “Kerjanya SMS-an saja”. Sekali waktu itu benar, tapi seringkali karena saya sedang menulis sesuatu yang saya anggap penting dan khawatir lupa. Apalagi kalau tiba-tiba melintas ide liar. “And, it works”.

Yogyakarta, 2-3 Mei 2011
Yusuf Iskandar

Dialog Dengan Seorang Ibu Yang Sedang Risau

2 Mei 2011

Pengantar:

Seorang ibu yang merangkap sebagai tulang punggung keluarganya ingin “hijrah” dari hal yang diyakininya salah menuju ke cara yang benar. Tapi hatinya risau, bingung bagaimana harus memulainya. Dialog melalui SMS yang saya lakukan dengan si ibu itu saya tuliskan dalam cerita status (cersta) yang saya posting di Facebook. Seperti biasa, saya menuliskannya dengan gaya yang tidak biasa. Berikut ini rangkumannya. Semoga ada pelajaran yang dapat dipetik.

——–

(1)

Seorang ibu nun jauh di ujung seberang pulau tiba-tiba mengirim SMS. Dia menemukan blog saya di internet, lalu minta saran… (haha, kembali jadi tukang kompor nih). Katanya dia sedang menjalankan usaha rentenir (di pelosok Jawa disebut “bank thithil”…) dari seorang pemilik modal.

“Saya risau pak, saya ingin berhenti, tolong bagaimana caranya”, begitu singkatnya. Hmm… saya perlu waktu untuk menjawabnya, mungkin mau saya pikir sambil tidur saja dulu…

(2)

Dalam hati ingin berkata: “Ya berhenti saja!”, sebab satu-satunya cara untuk berhenti adalah tidak melanjutkan berjalan. Tapi jika berhenti adalah semudah itu, pasti si ibu itu tidak perlu risau bagaimana caranya. Berarti ada faktor lain yang tidak saya ketahui.

Maka saya coba meyakinkan untuk menghentikan usaha “bank thithil” (rentenir) dengan menggunakan kata-kata seperti keberkahan, kemudahan atau kesuksesan, ketimbang kata-kata “menakutkan” seperti riba, dosa atau neraka…

(3)

Saya pesankan kepada si ibu itu: “Cari alasan yang masuk akal kepada si pemilik modal untuk ibu berhenti dari usaha rentenir”. Tidak apa-apa proses itu berjalan perlahan.

Bagaimana pun juga si ibu masih terikat “amanah” untuk mengembalikan uang milik pemodal yang sedang berputar. Pada saat yang sama barengi dengan mengikrarkan niat untuk meninggalkan dunia persilatan “bank thithil”… Mudah-mudahan proses berhentinya menjadi mudah atau dimudahkan…

‎(4)

Lho dimana tidak mudahnya? Si ibu telanjur terjebak dalam bisnis setan yang melingkar (inner cycle). Ketika tiba waktunya dia harus setor kepada pemodal sementara tagihan tidak bisa masuk, terpaksa dia harus menutupnya dulu dari kantong pribadi.

Si ibu tidak memiliki kemampuan menjadi debt collector, sebab setiap kali menagih dan si penghutang kesusahan bahkan mengada-adakan untuk bisa membayar, hatinya tidak tega…

(5)

Saya perlu mengapresiasi si ibu dan saya katakan: “Itu langkah awal yang (insya Allah) akan mengantarkan ibu kepada kemudahan usaha lainnya, termasuk kios sembako (si ibu sedang merintis kios sembako). Mungkin yang ibu hasilkan dari rentenir cukup besar, tapi saya ragu kalau ibu dan keluarga dapat menikmati keberkahannya. Selain, usaha itu jelas illegal“.

Saya tahu kata-kata itu mungkin terdengar tidak merdu di telinga si ibu. Makanya perlu saya susul dengan SMS lanjutan…

(6)

Si ibu ini rupanya baru mulai usaha kios sembako. Pertanyaan kedua dari si ibu: “Kenapa kios saya ini kurang pembelinya, kalah dengan kios tetangga”. Padahal kios milik si ibu lebih komplit.

Tentu banyak sebab, tapi “ngelmu kompor” saya cepat bekerja: “Itu karena ibu telanjur memiliki image negatif sebagai seorang rentenir, sehingga pembeli merasa tidak nyaman berbisnis dengan ibu”.

Gubraks..! Saya bayangkan si ibu dhelek-dhelek…(diam tepekur) membaca SMS saya.

(7)

SMS saya berikutnya: “Saya yakin (insya Allah) setelah ibu berhenti menjadi rentenir, lalu dibarengi dengan upaya taubat kepada Tuhan dan niatkan mau berusaha secara wajar, maka image negatif tadi pelan-pelan akan berubah menjadi positif. Jelas akan perlu waktu. Tapi hasil usaha itu kan bukan soal banyak atau sedikit, melainkan keberkahannya bagi diri ibu sendiri dan keluarga”. Begitu yang saya katakan selanjutnya sebagai upaya menyejukkan perasaan si ibu yang sedang risau…

(8)

Sementara proses berhenti dari usaha rentenir sedang berjalan, si ibu saya sarankan untuk lebih fokus membenahi usaha kios sembakonya. Pada saat yang sama pancangkan niat untuk “banting setir” alias “hijrah” dari mencari rejeki dengan cara yang tidak benar ke cara yang benar.

Apa nilai tambahnya? Tuhan berkepentingan membantu hambanya yang sedang berjuang menuju kebenaran. Jalan ke arah sana akan segera terbuka, termasuk wawasan tentang bisnis yang membawa berkah…

(9)

Jika merasa wawasan itu belum terbuka juga, tidak usah risau… Ubah gaya pelayanan kepada pembeli menjadi lebih ramah, lebih bersahabat, lebih bersuasana nyaman, lebih riang, dsb. Harga wajar, tingkatkan cara pelayanan, sehingga persaingan dengan tetangga pun jadi alami. “Maka kios ibu yang lebih komplit itu pasti akan lebih menarik”, kataku menyemangati.

Nasehat normatif seperti ini sering dilupakan saat suasana hati risau. Maka jangan risau. Perkuat dengan doa…

(10)

Balasan SMS dari si ibu yang sedang risau itu rupanya cukup membesarkan hati. Dia menulis kira-kira begini (dialek Indonesia Tengah yang saya rapikan agar mudah dipahami): “Insya Allah niat saya tercapai. Saya takut dosa pak. Apalagi saat menagih, mereka pada susah. Ketika saya memaksa harus, maka mereka pun berusaha membayar walaupun dengan cara apa saja. Subhanallah”.

Dan, jawabku: “Insya Allah kemudahan akan datang menghampiri ibu”.

Yogyakarta, 29-30 April 2011

Yusuf Iskandar

Berani Ber(wira)usaha

1 Mei 2011

Pengantar:
Tulisan berikut ini adalah kutipan dari cersta (cerita status) saya di Facebook yang penulisannya sudah saya edit kembali agar lebih enak dibaca. Sekedar ingin berbagi…

——-

(1)

Minimarket saya berlokasi tidak jauh dari Superindo di kota Jogja. Celetuk seorang pembeli: “Kok berani sih?”, maksudnya buka pasarmini di dekat pasarsuper.

Jawab “boss” saya lugu: “Rejeki kan sudah ada yang mengatur…”.

Yang dikatakan “boss” saya benar, tapi tidak menjawab. Bahwa antara pasarsuper dan pasarmini tidak bisa dibandingkan. Pasarsuper menjadi tujuan pembelanja berkantung tebal, sedang pasarmini menjadi tujuan “orang lewat” yang mampir belanja…

(2)

Keluarga yang ingin mencukupi kebutuhan mingguan atau bulanannya umumnya rela jauh-jauh mencari pasarsuper sekalian rekreasi. Tapi orang yang tiba-tiba kepingin udut, atau mau menyuguh tamu gulanya habis, atau mendadak kehausan, pasti lebih suka ke pasarmini yang biasanya tidak ngantri dan tidak mbayar parkir. Juga anak-anak yang hanya punya uang jajan Rp 500,-

Jadi? Ya jualan saja sejual-jualnya… Wong yang membelinya beda…

(3)

Itu kan teorinya, antara pasarmini dan pasarsuper. Lha prakteknya? Ya jualan saja terus. Kalau tidak laku? Pelajari agar laku. Kalau rugi? Upayakan agar tidak rugi. Kalau sepi pembeli? Cari cara agar tidak sepi… Maka nasehat seperti apalagi yang diperlukan?

Haha.., jangan terprovokasi. Jawaban atas: pelajari, upayakan dan cari cara, tentu saja tidak tiba-tiba mecothot (muncul) dari kuburan keramat yang dikembangi. Tapi pasti hasil dari belajar dan kerja keras.

(4)

Kemauan belajar dan kerja keras bukan mudah. Hanya mungkin dilakukan kalau seseorang mencintai apa yang dilakukannya. Ya, keyword-nya adalah cinta. Karena itu ketika memilih apa yang mau diusahakan, gunakan energi positif orang yang sedang jatuh cinta.

Ada apa dengan orang ini? Walau matahari terbit dari utara, walau hujan badai menghalangi, walau kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala, apapun dilakukan demi yang dicintainya. So? Jatuh cintalah sebelum ber(wira)usaha.

(5)

Sedang asyik-asyiknya menggagas tentang ber(wira)usaha dengan energi cinta, lha kok tadi malam acara Bukan Empat Mata menampilkan ndang ndut rock berjudul “Persetan”.

Liriknya:
Cinta membuat susah pikiran
Serta mengurangi nafsu makan
Akhirnya bisa menguruskan badan
Apalagi kalau patah hati
Sedang menyinta ditinggal pergi
Akhirnya bisa mati bunuh diri…

(Kok hafal? Lha yo dicatet no… Perlu keahlian tersendiri untuk bisa menulis cepat. Haha…).

(6)

Wokkelah… Biar tidak ngoyoworo (membuang-buang waktu). Memulai (wira)usaha dengan niat untuk ibadah. That’s it!

Alasan minimal agar kita tidak sendiri, melainkan melibatkan (Yang Maha) Pihak Lain yang kita ibadahi itu. Alasan maksimal, kalau usaha kita ada masalah, maka pasti (ini janji-Nya)…, pasti (Yang Maha) Pihak Lain itu tidak akan membiarkan kita klepek-klepek ndili… Sedang niat-niat lain selain ibadah, jadikan itu sebagai pelengkap penggembira…

(7)

Maka marilah kita tengok kembali tag line dongeng saya ini: BERANI, BELAJAR, KERJA KERAS, CINTA, (WIRA)USAHA, IBADAH…

Lalu apakah kalau sudah memiliki modal dasar pembangunan usaha dari BERANI sampai IBADAH itu njuk… serta-merta sukses akan diraih? Ya, belum tentu…, enak aja! Tapi setidak-tidaknya kita sudah menyiapkan sebuah wadah untuk menampung rejeki yang mberkahi.., seberapapun banyak dan besarnya.

(8)

Banyak atau sedikit, besar atau kecil, rejeki (baca: keuntungan usaha) itu relatif, tergantung persepsi nafsu kita. Maka sebaiknya (ini sebaiknya lho…), mereka yang ber-KTP Islam, perlu melandasi dengan ikhlas untuk selalu bersabar dan sholat (lha ini repotnya, kalau sudah urusan ikhlas, sabar, sholat… Dan saya tidak ngarang-ngarang). Dan mereka yang ber-KTP non Islam, saya percaya pasti juga ada landasan yang kurang-lebih sama…

“Selamat Ber(wira)usaha”.

Yogyakarta, 27 April 2011
Yusuf Iskandar

Kedondongku

28 April 2011

Kedondongku — Tinggi pohonnya kurang dari 2 meter. Terus berbunga, terus berbuah, dan akan terus kupetik, kubanting dan kubrakoti… (kumakan) setiap kali aku dinas ke tokoku di Madurejo, Prambanan, DIY. Seperti tak kan habis dalam semusim…

Yogyakarta, 26 April 2011
Yusuf Iskandar

Nggak Enaknya Nggak Enak Badan

25 April 2011

Pengantar:

Beberapa hari yll saya merasa tidak enak badan karena terkena serangan gejala flu. Saya menceriterakan pengalaman nggak enak tentang nggak enaknya nggak enak badan, melalui cersta (cerita status) yang saya tulis di Facebook. Berikut ini kumpulan catatan saya itu. Seperti biasanya, sekedar ingin berbagi “dongeng” dari sudut pandang yang berbeda.

——-

(1)

Setelah beberapa hari kluntrak-kluntruk (lesu wal ogah-ogahan) karena tidak enak badan, meriang, nggreges (demam), gejala flu, tenggorokan gerok (serak), ingusan, akhirnya pada Jum’at Agung ini saya siap kembali ke Facebook.

Yang jadi soal bukan serangan sakitnya, melainkan selama periode sakit itu saya tetap kemana-mana. Haha…, pada batas tertentu saya tidak mau mengikuti irama sakitku, tapi sakit itu yang saya paksa harus mengikuti iramaku..

(Note: Lebih seminggu saya tidak buka-buka Facebook karena malas dan serangan nggak enak badan itu tadi…)

(2)

Ketika tiba-tiba merasa tidak enak badan, diawali dengan meriang dan nggreges, yang terpikir adalah tubuh sedang diserang di saat kondisi sedang drop. Maka pertahanan saya adalah meningkatkan daya tahan tubuh. Cara yang biasa saya lakukan adalah menggenjot asupan vitamin C. Minuman berkadar vitamin C tinggi saya tingkatkan “dosis”-nya plus istirahat cukup (mestinya).

Dalam banyak kesempatan saya diserang, biasanya cara ini cukup ampuh, asal tidak terlambat bertindak.

(3)

Minuman berkadar vitamin C tinggi yang biasa saya tenggak melebihi “dosis” (maaf tidak bermaksud promosi melainkan berbagi, ceritanya… bukan minumannya…) adalah You C1000 dan Adem Sari. Dan yang saya maksud melebihi “dosis” adalah saya meminumnya lebih dari yang dianjurkan per hari.

Jika sampai tiga hari kondisi tubuh tidak mereda, maka barulah saya pertimbangkan untuk minum obat kimia komersial seperti yang pathing pecothot diiklankan di televisi…

(4)

Bagaimanapun juga, ketika badan terasa tidak enak, maka kita sendiri yang dapat menilai (memutuskan), ini serangan sakit “standar” biasa seperti yang saya alami atau karena ada sebab lain.

Sebaiknya tidak digeneralisir karena semua penyakit tanda awalnya akan mirip-mirip begitu. Jika ragu, tentu lebih baik tanyakan kepada ahlinya (dokter). Dalam cerita pengalaman ini adalah saya haqqun-yakil karena gangguan kesehatan “standar” saat kondisi tubuh sedang tidak fit saja…

(5)

Sudah lama saya memang menghindar dari minum obat kimia komersial. Kalau bukan karena situasi darurat (memaksa) atau tidak ada pilihan lain, maka minum obat kimia saya hindari. Saya memilih untuk menggunakan cara lain seperti menu herbal atau asupan vitamin C yang sebenarnya sederhana, bisa dipenuhi dari cukup makan sayur dan buah.

Hanya saja kita ini jenis manusia “pemalas” untuk kedua jenis makanan itu. Padahal itu lebih “fast” ketimbang fast food manapun…

(6)

Selain memperbanyak asupan vitamin C melalui minuman, sayur dan buah (selain buah kacang dan durian), saat nggak enak badan, maka acara minum kopi terkadang saya ganti dengan minum teh tapi ditambah jeruk nipis dan madu…. Uuuhh, segernya..!

Belum lagi kalau ada jambu kluthuk (batu) lalu dibuat setup (diiris, ditambah gula dan kayu manis, direbus), diminum hangat… Uuuff, makin suegerr..!

Kalau masih kurang suwegerrr.., mandi air panas…!

(7)

Hal paling luar biasa kurasakan ketika sedang tidak enak badan, meriang, demam, parau, puciiing.., adalah menikmati saat-saat tidak nikmat itu. Melamun sambil membandingkan rasa tak berdaya dengan saat bejujakan (banyak ulah) ketika sehat. Ternyata bagaimanapun sehat itu lebih nikmat daripada tidak sehat. Tapi herannya, saya baru merasakan nikmatnya sehat justru ketika sedang sakit.

Maka pesannya: sekali-sekali sakitlah agar tahu nikmatnya tidak sakit, lalu bersyukur!

(8)

Lha wong sedang tidak enak badan (beberapa hari yll) kok ujuk-ujuk anak lanang yang sedang libur musim UN mengajak mendaki gunung Semeru (Jatim). Yaa.., gimana ya? Terpaksa tidak bisa kupenuhi ajakannya (walau kepingin).

Akhirnya anak lanang bikin agenda sendiri bersama teman-temannya mendaki gunung Lawu. Dan ini pendakiannya yang ketiga untuk gunung yang sama… “Selamat, Le…!”.

(9)

Pagi-pagi Jum’at Agung harus hadir ke acara pernikahan saudara. Lha, kalau ini baru cocok untuk orang yang sedang tidak enak badan. Segera diatur strategi agar jangan sarapan dulu dari rumah.

Tiba acara makan, lontong sate ayam, nasi sate dan gule kambing, zuppa soup, buah, teh hangat…bablasss, ditutup dengan duduk di belakang mengeringkan keringat, sebelum akhirnya pamit pulang. Kok badan jadi enak? Maka lain kali kalau sakit lagi harus cari orang punya gawe

***

(10)

Seorang rekan yang mengalami serangan flu urutan setelah saya bercerita kalau dirinya sedang mampir menikmati makan enak di luar. Kutanya: “Menunya enak enggak?”. Dengan semangat dia menjawab: “Enak bangeeet…” (‘e‘-nya panjang).

Dan komentarku: “Ooo berarti kamu sudah hampir sembuh. Sudah bisa membedakan mana yang enak dan mana yang enak banget… Maka kalau nanti mau mengecek semakin sembuh atau tidak, pergi saja lagi ke tempat makan yang enak…”.

(11)

Sesama penderita flu harus saling berkirim kabar. Seorang teman lain yang juga kena gejala flu dengan senang mengabarkan bahwa kondisi badannya sudah lumayan. “Cuma kalau bangun tidur saja terasa lebih parah”, katanya.

Maka yang dapat kunasehatkan: “Berarti satu-satunya cara agar kalau bangun tidur tidak merasa lebih parah, ya nggak usah bangun… Tidur saja terus, kalau sekiranya sudah merasa baik baru bangun…”.

(12)

Badannya meriang, tenggorokannya gatal, hidungnya mulai ingusan, akhirnya ke dokter juga walau awalnya keukeuh tidak mau karena tidak suka minum obat. Pulangnya membawa segepok obat dan bilang: “Mau kubuang ke tempat sampah”.

Serta-merta kucegah: “Jangan dibuang!”. Obat itu sudah ditebus dengan harga mahal. Lalu kusarankan: “Beli kertas asturo dan lem. Tempelkan obat-obat itu, buatlah hiasan dinding”. Sama-sama tidak diminum tapi ada manfaatnya.

(13)

Serangan flu sudah mereda, tapi masih menyisakan ingus yang cukup mengganggu… Malam Minggu, walau badan terasa agak malas, hadir juga saya di kondangan. Maka saya tempuh strategi blitzkrieg (serangan kilat, perang gaya suku Jerman). Datang, salaman, bakso, siomay, soto, es krim, buah, teh hangat, pulang…

Kurang dari satu jam sudah leyeh-leyeh di rumah, perut kenyang, badan keringatan…, tapi ingus tetap saja mengalir bak banjir lahar dingin…

***

(14)

Guna menyempurnakan pertahanan tubuh melawan serangan flu, maka menu jamu suplemen zonder obat kimia komersial adalah back to nature. Rebusan pasak bumi (untuk daya tahan tubuh) berseling dengan rebusan ciplukan (untuk peredaran darah) melengkapi asupan vitamin C yang “over dosis”.

Jangan tanya rasa pahitnya, apalagi resep darimana, bahkan tidak ada hubungannya pun tidak jadi soal. Yang penting saya berhasil memaksa irama sakitku untuk mengikuti iramaku…

Yogyakarta, 21-23 April 2011
Yusuf Iskandar

Mengenang Almarhum Prof. Partanto

11 April 2011

(1)

Tahun 1985 saya masih mahasiswa kost di Bandung. Dengan semangat 45 saya menulis makalah tentang bentonit dan presentasi di forum Asia-Pacific Mining Conference di Jakarta. Menjadi satu-satunya mahasiswa yang nekat masuk di forum internasional dengan bahasa Inggris pating pecothot dengan mengangkat materi “ndeso” produk tambang rakyat bentonit di Nanggulan, Kulon Progo, DIY.

Seseorang yang sangat berperan dalam penulisan makalah dan presentasi itu adalah Pak Partanto Prodjosoemarto. ‎

(2)

Pak Partanto, dosen senior di Jurusan Tambang ITB itu juga yang kemudian menjadi pembimbing Tugas Akhir saya. Sementara (pada jaman itu) teman-teman lain menyelesaikan konsultasi skripsi hingga “bertahun-tahun”, saya “cukup” enam bulan…

Hari ini (24-Mar-2011), Guru Besar itu, Prof. Ir. RM. Partanto Prodjosoemarto berpulang ke haribaan Sang Khalik (dalam usia 72 tahun). Semoga ibadah pengabdiannya diterima sebaik-baiknya di sisi Allah swt.

“Selamat Jalan, Prof. Partanto..!”.

Dari kiri ke kanan: Ir. Sudarsono, MT., Ir. Dyah Probowati, MT., Alm. Prof. Ir. RM. Partanto Prodjosoemarto, Ir. Yusuf Iskandar dan Prof. Dr. Ir. Ambyo Mangunwidjaja.

(3)

Mestinya hari ini saya ingin ke Bandung memberi penghormatan terakhir kepada sang guru saya alm. Prof. Partanto. Tapi kok ya ndilalah.., sesaat sebelum menerima kabar duka itu, saya telanjur mengkonfirmasi bahwa besok mau terbang ke Tanjung Redep, Berau (Kaltim).

Saya pikir, tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Semua pasti ada dalam rencana-Nya…

(By the way, ada yang dapat saya ajak kopi darat di Berau? Maksudnya ngopi di warung, bukan di laut…)

Yogyakarta, 24-25 Maret 2011
Yusuf Iskandar

Ketika Bumi Muter-muter Dan Kepala Kliyengan

8 April 2011

Pengantar:

Berikut ini kumpulan catatan pengalaman saya ketika tiba-tiba terserang vertigo untuk pertama kali sepanjang hidup lebih setengah abad. Catatan ini secara berseri saya tulis sebagai cersta (cerita status) di Facebook pada tanggal 12-18 Maret 2011. Semoga ada manfaatnya, setidak-tidaknya menjadi bacaan selingan yang menghibur…

***

(1)

Hari Minggu kali ini diisi dengan berkebun tanaman hias di belakang toko di Madurejo, Sleman, DIY. Bercocok tanam bagi manusia setengah abad yang tidak biasa, sungguh bukan pekerjaan ringan. Padahal ya cuma gali-gali tanah lalu menanam di bawah mentari siang hingga sore.

Tapi rupanya pekerjaan yang dulu begitu enteng dilakukan, kini terasa sangat menguras energi. Usia memang tidak bisa dibohongi, tapi kok ya inginnya “berbohong” terus…

(2)

Enaknya kalau punya “boss” baik hati, tidak sombong, suka menabung, dan (tidak seberapa) rajin belajar… Tahu sopirnya kecapekan habis berkebun di belakang toko, sebagai wujud “boss” yang bertanggung jawab, pulangnya mampir warung sate kambing “Pak Tarno” di Jl. Prambanan-Piyungan yang dagingnya empuk karena dijamin kambing muda.

Tapi untuk urusan capek, “boss” saya lari dari tanggung jawab. “Panggil saja tukang pijit langganan itu…”. Huuu…

(Note: Yang saya maksud “boss” adalah ibunya anak-anak yang semakin enjoy ngurus toko).

(3)

Bangun pagi badan terasa kaku, pegel, sakit semua, dampak dari berkebun kemarin. Uugh..! Faktor “U” (usia) terbukti bekerja sesuai kodratnya. Pertanyaannya: Kenapa harus dikerjakan sendiri? Itulah soal yang sulit saya pungkiri jawabnya.

Ada kenikmatan dan keasyikan tersendiri saat adrenalin meningkat dan ada desir darah ketika faktor “G” (gairah) memuncak dengan berkebun sendiri. Tinggal mencari rumus yang pas antara kedua faktor itu.

(4)

Ternyata soal tidak seimbangnya faktor U & G bukan guyonan semata. Setelah Minggu siang menguras energi dengan berkebun di bawah terik matahari hingga sore, lalu makan sate dan gule kambing habis dua piring nasi, Senin terasa ada yang aneh dengan tubuh setengah abad ini.

Senin malam tidak nyenyak tidur karena kepala kliyengan, memandang dunia seolah berputar (ya memang bumi berputar pada porosnya). Tapi ini kok kamar tidur seisinya ikut berputar…

(5)

Lewat tengah malam saya terbangun kepingin pipis. Tapi rupanya seisi kamarku masih berputar. Untuk duduk pun sulit. Kupaksa berdiri, hampir jatuh, hilang keseimbang, akhirnya duduk lagi dan kembali terbaring. Waduh.., ada apa denganku?

Kuusahakan memejamkan mata untuk tidur lagi. Tapi bumi seperti benar-benar melayang dan berputar. Ada sedikit rasa nikmat seperti sedang fly (padahal seingatku fly tidak seperti itu…). Uuugh.., tiba-tiba aku merasa tak berdaya.

(6)

Sesaat kemudian aku terlelap. Hanya sebentar, karena terbangun lagi dan masih ingin pipis. Kali ini kupaksakan bertahan duduk walau dunia kamarku tetap berputar. Aku menang, kamarku kelelahan berputar. Kucoba berdiri, sempoyongan menuju kamar mandi. Berpegangan pintu, hingga berhasil berdiri di depan lubang closet.

Walau kepala kliyengan, aku masih bisa mengarahkan kencingku ke lubangnya. Tak kupungkiri, sejenak aku merasa hebat…

(7)

Kucoba melanjutkan tidur, tapi kepala kliyengan tidak karuan. Telentang mata melek, kamar seperti kembali berputar. Kucoba mata merem, sejenak terasa nikmatnya serasa terbang melayang, tapi lama-lama semua pun berputar. Ada apa denganku?

Aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Kepala tidak pusing, hanya kliyengan. Perut terasa mual mau muntah. “Harus bertahan”, kata hatiku. Dini hari, serasa sendirian, bergulat dengan rasa cemas yang sangat…

(8)

Cemas… Ya, tak kupungkiri itu kurasakan. Sempat berpikir buruk, jangan-jangan ini adalah penghujung perjalanan hidupku. Kutengok ibunya anak-anak di sebelahku lelap tidur. Mau kubangunkan, takut dia panik lalu memaksa ke RS (wah, orang lain enak tidur, aku malah ke RS…).

Kutahan dulu. Kliyengan semakin menjadi-jadi, mual tak tertahankan, mau bangkit tidak bisa, selalu terhuyung-huyung, akhirnya nggeblak lagi… Hanya dzikir dan salawat menyertai.

(9)

Saat hendak sholat subuh, benar-benar kupaksakan untuk berjalan terhuyung-huyung menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Semua saya lakukan dalam adegan lambat.

Haha…, sholat subuh pun tertunaikan dalam adegan lambat. Karena ingin menikmati sensasinya, sengaja aku tidak memanfaatkan fasilitas sholat sambil berbaring. Habis itu nggeblak lagi… Dalam persepsi kepala dan panca inderaku, dunia benar-benar berputar tak terkendali.

(10)

Pagi datang menjelang. Segera ingat sahabat dokter di Jakarta yang ingin kuminta sarannya. Konsultasi saya lakukan via SMS agar tidak mengejutkan sahabat saya itu. (Haha.., kepala kliyengan tapi masih bisa nulis SMS, dunia berputar kecuali huruf-huruf di HP).

Dan kesimpulan sementara, saya kena vertigo. Beliau pun memberi tips-tips mengatasi kliyengan yang belakangan disebut namanya desensitisasi (Trims untuk dr. Nury Nusdwinuringtyas di Jakarta).

***

(11)

Pagi itu dr. Nury meminta saya melakukan latihan merem-melek. (Haha, saya sudah terbiasa, sukkaa… sekali melakukannya). Intinya: Buka-tutup mata berulang kali, memandang benda yang diyakini tidak bergerak, lalu mulai menggerakkan tubuh. Tetap mensugesti bahwa ruang tidak bergerak.

Jelasnya dalam SMS-nya: Tetap berbaring, buka mata, fokus pada satu benda. Kalau terasa berputar, merem lagi. Ketika terasa enak, buka mata lagi. Begitu berulang-ulang…

(12)

Ada perasaan lega setelah mendengar pandangan awal dr. Nury bahwa yang saya alami malam itu adalah vertigo. Setidak-tidaknya saya tahu apa yang sedang terjadi. Walau saya tetap merencana hari itu mau ke Rumah Sakit untuk konsultasi langsung dengan dokter. Dengan tahu apa yang terjadi, maka masalah menjadi lebih mudah diatasi.

Seringkali kita ini tidak tahu apa yang harus dilakukan bahkan kadang-kadang salah bertindak, karena kurang pandai mengidentifikasi apa yang sesungguhnya sedang terjadi…

(13)

Setelah lebih yakin dengan apa yang terjadi pagi itu, saya baru cerita kepada istri. Namun responnya di luar dugaan yang semula saya pikir dia akan terkejut. Eee, malah dengan enteng berkata: “Itu karena sampeyan kecapekan tapi tidak pernah dirasa…”.

Uugh… “Terus gimana?”, pancingku.
“Sini tak kerokin…”, jawabnya.
Weleh.., lha istriku kok lebih sakti, kataku dalam hati. Akhirnya kuturuti juga. Kusodorkan punggungku, siap kerokan…

(14)

Benar juga. Belum selesai kerokan, saya sudah bersendawa beberapa kali. Perut pun terasa makin lega. Rasa mual yang semalam terasa mendesak mau muntah jadi makin hilang. Tapi rasa kliyengan masih ada walau tidak separah semalam.
“Sana berjemur biar keringatan”, kata istriku santai.

Uuugh… Aku pun berjemur seperti bayi cuma tidak telanjang, hanya tanpa baju, di depan rumah di bawah sinar matahari pagi. Nyaman terasa di badan…

(15)

Pagi itu saya pergi ke Rumah Sakit tidak jauh dari rumah. Merasa kondisi badan lebih enak, saya naik sepeda. Saya perlu konsultasi dengan dokter tentang apa yang saya alami malam sebelumnya.

Tensiku 110/70. “Normal”, kata dokter yang kemudian juga berkata saya kena vertigo. Lalu diberinya aku resep obat untuk diminum tiga hari.

Keluar dari ruang dokter tiba-tiba kepalaku kliyengan. Segera saya berhenti berpegangan kursi ruang tunggu sampai kondisiku stabil.

(16)

Saya menuju ke bagian Farmasi, resep obat kuberikan. Petugas Farmasi kemudian memberitahu total harganya Rp 119.000,- Tiba-tiba saya diam tercenung. Saya lupa tanya dokternya, ini obat apa? Tapi petugas itu malah berkata: “Diambil setengah dulu boleh kok pak. Masing-masing untuk obat mual dan pusing”.

Pikiran luguku mulai bekerja. Saya sudah tidak mual dan dari semalam juga tidak pusing. Kalau begitu untuk apa minum obat? Lalu kataku: “Obatnya tidak jadi saya ambil sekarang…”.

(17)

Pulang dari RS perasaan terasa lebih lega karena dua dokter telah mengkonfirmasi tentang serangan vertigo. Setidak-tidaknya itu bukan serangan yang secara “historis” mematikan (kecuali sambil dipukuli kepalanya).

Bersepeda santai meninggalkan RS. Lha kok ndilalah, di seberang jalan, mataku tertuju pada sebuah warung soto. Haha.., jangan-jangan vertigo menyerang karena sebulan ini saya tidak nyoto… Dan, sepedaku seperti otomatis belok menuju warung.

(18)

Warung itu warung soto ayam komboran “Mas Bero”. Sejenak lupa dengan kliyengan saat nyruput soto panas wal-pedas, ditambah jerohan goreng. Nyemmm…

Sedang enak-enaknya menikmati soto, datang SMS dari istri: “Gimana keadaan sekarang? Ada perubahan? Sudah lebih enak?”.

Kujawab: “Alhmdulillah. Woenak banget. Aku lagi nyoto…”.

Lalu pesannya: “Yo wis. Maem yang banyak biar cepat sembuh”. Haha.., terpaksa sotonya nambah, seperti pesan istriku.

***

(19)

Lha wong kepala masih kliyengan kok ya kepingin makan tempe goreng sambal bawang. Terpaksa menggoreng sendiri. Gak tahu kenapa tiba-tiba jempolku mak nyosss menyentuh tempe puanas yang baru mentas dari pnggorengan.

Segera ingat daun binahong. Ya, itu daun sakti mandraguna. Dipetik, diremas, ditempel… Kurang dari sehari kulit tidak melepuh, tidak sakit, langsung kering, menyisakan batas lepuhan yang tidak jadi..

(20)

Setiap kali kliyengan timbul, dunia seperti berputar, segera saya lakukan desensitisasi dengan cara merem-melek. Kejadiannya mirip ketika naik kereta api berhenti di stasiun. Ketika lewat kereta lain, sepertinya gerbong kita yang jalan. Baru sadar ketika kemudian terlihat stasiun masih mbegogok (nongkrong) di seberang rel.

Maka ketika kliyengan tiba, lakukan sugesti diri bahwa bukan kita berputar. Berulang-ulang, karena masih ada kereta yang akan lewat…

(21)

Ketika tengah malam itu kepalaku kliyengan nggak karuan dan semua seperti muter, prasangka pertama sebelum tahu bahwa itu vertigo, saya menduga aliran darah ke otak tidak lancar. Maka yang kulakukan adalah memindahkan bantal dari kepala ke kaki sehingga posisi kepala lebih rendah.

Rupanya cukup membantu membuat lebih nyaman. Tentu saja yang saya lakukan itu bukan mengobati. Pada kesempatan pertama setelah itu baiknya tetap temui ahlinya (dokter).

(22)

Beberapa tips diberikan oleh beberapa rekan terkait vertigo (trims banyak). Seperti tips saat kliyengan, berusaha duduk lalu menunduk mencium lutut. Atau makan tomat dicampur sedikit gula.

Tentang tomat ini (konon) punya khasiat lain. Bagi pria dapat mencegah penyakit prostat. Juga untuk mengurangi kegemukan atau peyyut buncit jika rajin makan tumat sebagai menu terakhir sebelum bubu malam… Kalau pun ini salah, maka yakinlah tomat itu woenak…

(23)

Akhirnya, mengakhiri dongeng tentang “Si Vertigo”… Dalam kasus yang saya alami, Si Vertigo datang karena faktor G (gairah alias semangat beraktifitas) yang tak seimbang dengan faktor U (umur) pada saat bioritme fisik sedang di bawah.

Yang harus saya lakukan setelah serangan awal adalah banyak istirahat, memulihkan kondisi fisik. Tapi harus hati-hati, sebab kelamaan istirahat jadi nglangut (mengawang-awang) yang bisa berakibat munculnya faktor M (melamun)…

Yogyakarta, 12-18 Maret 2011
Yusuf Iskandar

Ketika Tuhan “Memaksa”

10 Februari 2011

Kesialan, ketidak-beruntungan, keburukan dan bencana, hampir setiap saat kita jumpai. Tapi tidak setiap saat kita dapat melihat kebaikan yang ada di baliknya.

Berikut ini kumpulan cersta (cerita status) saya di Facebook, sekedar ingin berbagi…

(1)

Akhirnya benar-benar terjadi. Mobilku tidak bisa keluar karena terhalang bangunan di pojok jalan kampung. Orang lain yang bersengketa, mobilku yang jadi korban (kalau pemiliknya baik-baik saja). Yo wiss, bensinnya utuh…

Sudah 3 hari saya pergi ke toko Bintaran naik sepeda (uuuh.., sudah lama tidak bersepeda). Siang kemarin ke toko Madurejo menempuh jarak lebih 30 km pp. bersepeda motor boncengan dengan “boss” (hmmm.., untuk pertama kali kami lakukan ini sejak toko itu berdiri lebih lima tahun yll).

(Repotnya kalau membangun rumah di tengah persawahan ketika belum tahu kawasan itu kelak akan menjadi seperti apa. Tapi karena niat awal membangunnya adalah untuk tujuan ibadah, ya biar saja Tuhan yang mengurus jalan keluarnya…, maksudnya benar-benar jalan agar mobilku bisa keluar…)

(2)

Tertutupnya akses jalan mobil di rumah adalah satu hal. Bersepeda ke toko adalah hal lain. Tapi berboncengan sepeda motor jarak jauh adalah cara Tuhan “memaksa” saya untuk lebih kompak bekerja berdua “boss”.

Hmmm… Sebab filosofinya adalah, tidak ada hal yang kebetulan melainkan ada dalam perencanaan-Nya. Maka bersepeda motor ke Madurejo untuk yang pertama kali itu pun sesuai rencana-Nya.

(3)

Berboncengan sepeda motor, dengan kecepatan 30-40 km/jam, membelah persawahan di wilayah kecamatan Berbah yang padinya mulai menguning dan sebagian mulai panen… Uuugh, serasa seperti sedang yang-yangan (pacaran).

Dengan “menutup” akses mobil di kampung, Tuhan sedang “memaksa” memberi kesempatan kami untuk melakukan “revitalisasi”. Kami pun bisa bersepeda motor ke Madurejo dengan santai sambil cengengesan… Untung tidak kehujanan…

(Seorang teman “cemburu”… Saya katakan, bayangkan seperti melihat adegan kemesraan dalam film-film jadul, bukan dalam film-film jaman sekarang…)

(4)

Pulang dari Madurejo saat sore. Mampir ke warung sate kambing “Pak Tarno”, di Jl. Piyungan-Prambanan km 4,5. Seporsi sate yang terdiri dari enam tusuk dengan potongan kecil-kecil, empuk sekali dagingnya… Seporsi gule melengkapinya.

Jam terbang Pak Tarno yang lebih 22 tahun menekuni dunia persatean di Jogja, tidak diragukan lagi kompetensinya untuk menyajikan seporsi sate kambing…, hmmm..! Terbukti dua ekor kambing ludes dimakan pelanggannya tiap hari.

(Memang tidak ada hubungannya antara kemesraan dengan sate kambing. Sate kambing itu sepenuhnya hak prerogatif lidah hingga perut untuk mak nyus atau tidak , sedang kemesraan itu seperti angin segar yang berhembus di persawahan karena selalu diharapkan agar jangan cepat berlalu…)

Yogyakarta, 9 Pebruari 2011
Yusuf Iskandar

NB:
Catatan ini kupersembahkan kepada sahabat-sahabat saya yang kini usianya telah berada di ambang atau sekitar periode “over-sek” (lebih seket, lebih lima puluh tahun). Teriring salam hormat semoga selalu berbahagia bersama keluarga.

Kebaikan Dan Rejeki Malam Jum’at

7 Februari 2011

Sore tadi sebenarnya saya berniat mengisi Maljum dengan tidur lebih awal karena rada nggak enak badan. Saya sudah berniat mbolos dari majelis taklim Maljum. Lha kok tidak biasa-biasanya, koordinator taklim tilpun membujuk untuk berangkat. Tilpun ke HP tidak saya angkat, lha kok malah tilpun ke istri dan “celakanya” saya belum koordinasi dengan istri.

Huahaha, terpaksa berangkat. Tuhan memang ruar biasa kalau sudah “memaksa” untuk memberi kesempatan meraih kebaikan…

(Maljum : Malam Jum’at)

***

Dari majelis taklim malam Jum’atan di selatan Jogja. Alhamdulillah, rejeki memang tidak akan kemana. Pulangnya dibekali bancakan dua kotak makan malam dan kue.

Dalam perjalanan pulang lewat jam 22:00 ketahuan ban mobil tertusuk paku. Alhamdulillah juga, rejeki memang tidak akan kemana. Pulangnya mampir tukang tambal ban. Ya rejeki bagi tukang tambal ban maksudnya.., dan saya tetap saja nunggu dan mbayar…

Yogyakarta, 3 Pebruari 2011
Yusuf Iskandar

Tour d’ Gendol

30 Januari 2011

“Tour d’ Gendol”… Wisata bencana sebagai tujuan wisata alternatif di kawasan yang terkena hempasan awan panas (wedhus gembel) di sepanjang aliran sungai Gendol, wilayah kecamatan Cangkringan, kabupaten Sleman, DIY

Yogyakarta, 27 Januari 2011
Yusuf Iskandar

Ketika “Crop Circle” Muncul Di Berbah, Sleman

26 Januari 2011

Fenomena “Crop Circle” di areal persawahan desa Jogotirto, kecamatan Berbah, Sleman, yang terjadi pada hari Minggu (23/01/11). Lukisan alam berupa tanaman padi yang roboh beraturan membentuk lingkaran dan lengkungan. Perlu tanya kepada alam dulu: “What the hell is this?” – (Saya mengambil foto dari puncak bukit Suru, 25/01/11 jam 10:45 WIB).

Masih menunggu penjelasan para ahli tentang seluk wal-beluknya…

(1)

Fenomena “Crop Circle” Berbah, Sleman…
Sementara masyarakat berbondong-bondong datang ke pinggir sawah dan bertanya-tanya kepada para ahli tentang apa gerangan yang terjadi, aku bertanya kepada pak Jumiran pemilik sawah. Jawabnya sambil terkekeh di tengah kerumunan masyarakat yang penasaran: “Nggih pantun kulo sami ambruk niku…(Ya padi saya pada rubuh itu…)”.

(2)

Tidak dipungkiri, fenomena “Crop Circle” memang membuat dahi mengernyit. Kalau dibuat orang pasti ada bekasnya, ditiup angin kok begitu terukur membentuk lukisan indah, bukan patah bukan roboh tapi melengkung rapi, tepat di atasnya ada SUTET (saluran udara tegangan tinggi), di bawahnya ada saluran pipa Pertamina. Hanya Bandung Bondowoso yang dapat melakukan ini selesai sebelum fajar, bahkan lebih cepat dari cinta satu malam.

(Note: Catatan obrolan dengan pak Jumiran sang pemilik sawah dan seorang pengunjung yang penasaran)

(3)

Hujan deras, angin kencang, geluduk, merata melanda Jogja siang ini. Waspada… (siapa tahu “Crop Circle” berubah menjadi “Crop Square” karena semua tanaman padi di seluas sawah pada roboh oleh angin…).

(4)

Banyak pohon tumbang di Jogja, akibat hujan deras dan angin kencang siang ini. Waspada..! Dalam perjalanan menuju Madurejo melalui rute klasik via Berbah, terlihat kawasan dimana ada “Crop Circle” masih ramai. Entah sengaja hujan-hujanan, entah kepalang kehujanan di tengah persawahan.

“Boss” saya penasaran tentang “Crop Circle”. Kujawab: “Ya sannaa... hujan-hujanan kalau mau lihat, aku tak nunggu di mobil…” (Saya belum cerita kalau paginya sudah ke sana).

(5)

Tuhan memang ruarrr biasa untuk urusan membagi rejeki. Ribuan orang berduyun-duyun datang ke lokasi “Crop Circle” di desa Jogotirto, Berbah, Sleman, setiap hari sejak hari Minggu yll.

Mobil dan sepeda motor mbayar parkir harga premium. Pedagang segala macam betebaran bahkan hingga ke puncak bukit Suru dimana lukisan alam terlihat bentuknya. Para petugas dan pejabat negara berdatangan dengan ngantongi SPJ. Maka terbagilah rejeki dari langit.

(6)

Entah malam Minggu, entah Minggu dini hari ketika proses “pembuatan” lukisan “Crop Circle” terjadi. Tahu-tahu pagi harinya, pak Jumiran dilapori tetangganya: “Itu sawah sampeyan pada ambruk”. “Ya sudah…”, pikir pak Jumiran.

Baru sorenya pak Jumiran melongo. Sawah yang padinya hampir menguning itu diributkan orang. Malah dibatasi pita kuning sama pak polisi dan dijaga. Kalau ada orang mau lihat dan lewat garis, disemprit dari jauh.

(7)
Bergaya seperti wartawan infotainmen kehabisan berita kawin-cerai, kutanya pak Jumiran, satu dari tujuh pemilik sawah yang ketiban “sial” itu: “Sebelumnya pernah ada firasat, mimpi aneh atau kode nomor, gitu pak?”.

Mboten wonteeen…(tidak ada)”, jawabnya.

Eh, malah seseorang di sebelahnya tanya saya: “Suka pasang lotre Singapur pak?”. Weleh, lha lotre pasar malam Sekaten yang tinggal jalan kaki saja saya ‘girap-girapen’, boro-boro harus terbang ke Singapur…

(8)

Pak Jumiran jelas tidak paham apa itu “Crop Circle” (bisa terpelintir lidahnya mengucapkan kata itu), apalagi Alien, UFO atau makanan lain sejenis itu. Pak Jumiran hanya menggerutu gusar (dalam bahasa Jawa halus): “Kalau sawah saya rusak, nanti dapat ganti rugi enggak ya?”.

Uuugh, pak Jum, pak Jum…, membumi sekali kegusaran Sampeyan. (Dalam hati saya becanda: Waduh, dananya telanjur dipakai untuk studi banding pak…).

(9)

Berdiri di pinggir sawah untuk melihat “Crop Circle”, memang ya hanya tanaman padi ambruk yang akan terlihat. Selain dengan terbang di atasnya (itu juga kalau tidak kesetrum jaringan listrik tegangan tinggi), satu-satunya cara untuk melihat keanehan padi ambruk itu adalah dengan mendaki bukit Suru yang ada di sebelah baratnya.

Maka ini juga keanehan lain, orang-orang tua, muda, anak, ramai-ramai seperti ikut lomba kebut gunung, mendaki bukit yang sebenarnya cukup terjal dan licin.

(10)

Berjalan di depanku saat mendaki bukit Suru seorang nenek (belum terlalu tua), ndeso, sambil mengangkat kain jaritnya, berjalan pelan. Saya agak miris melihat si nenek, walau bukit Suru ini kecil tapi terjal dan licin (diwartakan hari ini ada seorang yang tewas terjatuh).

Untuk menyalipnya saya perlu menyapa (dengan bahasa Jawa halus). “Mbah, panjenengan ini kok ya nekat ikut mendaki”. “Saya kan juga ingin lihat”, jawab nenek itu tidak mau kalah. Betapa…

(11)

Ini kisah tentang bukit Suru yang tidak ada hubungannya dengan “Crop Circle” –

Hari-hari ini orang ramai mendaki gunung Suru karena ingin melihat lukisan misterius. Hingga sekitar lima tahun yll. bukit Suru dipercaya banyak menyimpan kekayaan. Buktinya dulu banyak orang mendakinya saat malam Jum’at Kliwon dengan membawa sesaji. Tapi sejak sekitar gempa Jogja 2006, kekayaan bukit ini seolah hilang amblas bumi dibawa kabur Ontorejo.

(12)

LAPAN meyakini “Crop Circle” di Berbah, Sleman, itu bikinan manusia. Jika benar demikian, berharap akan terungkap.

Namun siapapun manusianya, dia adalah seorang yang kreatif dan luar biasa (nekatnya, maksudnya). Hasil proses kreatif yang layak diapresiasi untuk diarahkan ke hal yang lebih produktif. Dan bukan dikait-kaitkan dengan politik atau urusan tetek bin bengek yang semakin menguras energi yang sudah banyak diecer-ecer mubazir di Jakarta…

Yogyakarta, 25 Januari 2011
Yusuf Iskandar

Makan Siang Menu Kepiting Bakar Madu

9 Januari 2011

Aslinya tujuan saya siang tadi mau membayar pembelian material bangunan untuk bantuan Merapi ke toko milik seorang sahabat. Lha kok nyonya toko tiba-tiba menawari makan siang dengan menu spesial masak sendiri, kepiting bakar madu. Waaa…, yo uedan kalau sampai ditolak. Uuuh-alhamdulillah!

Yogyakarta, 5 Januari 2011
Yusuf Iskandar

Banting Setir Menjadi Penjual Es Kelapa Muda

7 Januari 2011

Pengantar:

Catatan di bawah ini adalah kumpulan dari catatan status saya di Facebook.-

——-

(1)

Di seberang jalan depan tokoku “Madurejo Swalayan”, Sleman, Jogja Istimewa, beberapa bulan ini saya lihat ada penjual es kelapa muda. Meja, keranjang dan perlengkapannya nampak masih baru.

Hari ini saya sempatkan datang membeli segelas dan saya minum sambil duduk di pinggir jalan di bawah pohon. Bukan karena saya haus dan ngidam kelapa muda, tapi karena saya ingin ngobrol dan mengenal lebih jauh tetangga baru saya itu…

(2)

Pak Rohmadi dan istrinya bekerja sebagai buruh. Ya buruh bangunan, pabrik, pelayan toko, kuli, dsb. Pendeknya, sejak muda menjadi orang gajian berganti-ganti bidang dengan penghasilan bulanan yang segitu-segitunya.

Beberapa bulan yll mereka membuat keputusan besar dalam hidupnya, mengakhiri “petualangan” sebagai buruh dan banting setir menjadi pengusaha. Usaha pertama yang dilakukannya adalah jualan es kelapa muda di pinggir jalan.

(3)

Keuntungan bersih pak Rohmadi dari hasil jualan es kelamud (kelapa muda) berkisar Rp 40-50 ribu/hari. “Tergantung cuaca”, katanya. Sebenarnya tidak jauh beda dengan pendapatannya ketika menjadi buruh.

Tapi kini pak Rohmadi melihat di depan matanya membentang ribuan peluang yang memungkinkannya untuk melipat-gandakan penghasilannya 10 kali, 100 kali, 1000 kali dari hasilnya yang sekarang. Keyakinan itu perlu, walau belum tahu apa yang dapat dilakukannya saat ini.

(4)

Memang belum setengah tahun pak Rohmadi menekuni bisnis es kelamud. Belum dapat diukur apakah usahanya berkembang atau mengempis. Tapi yang pasti bahwa sejak banting setir menjadi pengusaha, dia sudah berhasil masuk tahap MPP (Menangkap Peluang Pertama).

Perkara nanti akan terus jualan es kelamud atau harus ganti dengan peluang kedua, ketiga, dst., itu soal lain. Sebab banyak orang yang bahkan untuk MPP pun sepertinya harus kungkum (berendam) di sungai tujuh hari tujuh malam..

(5)

Keranjang dipasang di kiri-kanan sepeda motor pak Rohmadi. Setiap pagi suami-istri itu berangkat dari rumah membawa perlengkapan jualannya. Ditatanya di atas meja kayu sederhana di pinggir jalan di bawah pohon, di seberang jalan depan tokoku. Sore biasanya mereka pulang.

Penghasilan mereka memang masih pas-pasan. Tapi kebebasan untuk mengatur irama hidup yang dimilikinya.., itulah nampaknya buah pertama dari keputusannya banting setir.

‎(6)

Bu Rohmadi agak kaget saat tahu saya, pembelinya yang banyak tanya ini, adalah pemilik toko swalayan di depannya. Lalu sampailah pada saat yang kutunggu-tunggu. Bu Rohmadi berkata: “Kenapa tidak jual baju-baju? Banyak yang tanya lho pak…”. Ini adalah informasi yang sangat berharga.

Harus dipahami, tidak mudah berharap masyarakat desa mau tanya hal-hal seperti itu langsung ke toko, melainkan melalui obrolan dengan orang lain. Sementara fashion memang belum menjadi segmen yang saya garap.

Yogyakarta, 25 Desember 2010
Yusuf Iskandar

Buah Favorit

7 Januari 2011

Kedondong cangkok di belakang tokoku di Madurejo, Sleman, mulai berbuah. Kali ini tidak sendiri…, melainkan gerombolan ramai-ramai. Satu-satunya alasan saya menanam kedondong adalah karena ini buah favoritku. Bukan pepaya, mangga, pisang, jambu…, apalagi apel, anggur atau strawberry….tapi kedondong.

Yogyakarta, 22 December 2010
Yusuf Iskandar

Sendiri…

7 Januari 2011

Sendiri… Rambutan cangkok di belakang toko di Madurejo, Sleman, sudah mulai berbuah. Buah pertama, tapi sendiliii… (sengaja tidak pakai ‘r’).

Yogyakarta, 21 December 2010
Yusuf Iskandar