Posts Tagged ‘hotel’

Nginap Di Hotel

18 Maret 2010

Anak lanang yang sedang free style-an di Jakarta dan numpang nginap di rumah famili temannya, cerita bangga via SMS:

“Nanti malam dapat fasilitas nginap di hotel X”.
Bapaknya tidak mau kalah: “Bapak juga sering nginap disitu…”.
Dia ganti Tanya-tanya: “Bintang berapa? Bagus nggak?”.
Dijawab bapaknya: “Bintang 3. Lumayan bagus”.
Kemudian disusuli SMS sama bapaknya: “Ra sah ngetarani ndeso-ne, le…! (Tidak usah menampakkan ndeso-nya, le…!)”. Dan SMS pun berhenti.

Yogyakarta, 17 Maret 2010
Yusuf Iskandar

Tip

15 Juli 2008

Sudah belasan kali saya numpang tidur dan buang hajat (numpang, tapi mbayar….) di sebuah hotel di bilangan Mampang, setiap kali saya singgah di Jakarta. Sudah belasan kali pula saya melebihkan pembayaran setiap kali pesan makanan untuk dikirim ke kamar, meski harga yang saya bayar sebenarnya sudah termasuk ongkos jasa pelayanan dan pajek (pakai huruf keempat ‘e’).

Ujuk-ujuk muncul ide iseng, apa yang bakal terjadi kalau saya tidak melebihkan uang pembayaran alias tidak memberi tip?

Maka ketika kemudian makanan dikirim lengkap dengan bon tagihan sejumlah Rp 52.000,- saya pun membayarnya dengan uang pas persis, selembar lima puluh ribuan dan dua lembar seribuan sambil berucap terima kasih. Reaksi spontan si pengantar makanan adalah tercenung diam sesaat sambil terlihat agak ragu mau melangkah keluar kamar.

Tiba-tiba si pelayan laki-laki itu berubah pikiran. Dia berbalik lalu bertanya : “Bapak ada deposit?”. Dan saya jawab : “Iya”.

Kemudian si pelayan mengajukan usul : “Kalau bapak mau, bisa tinggal ditandatangani saja bonnya”. Saya pun menjawab : “Kalau begitu lebih baik”.

Lalu bon tagihan saya tandatangani dan uang Rp 52.000,- pun saya tarik kembali dan masuk ke saku, tanpa sisa serebu-serebu acan….

Kelakuan saya ini rupanya diluar dugaan si pelayan. Dia pun bertanya : “Sudah, pak?”. Saya jawab : “Ya. Sudah. Terima kasih”.

Spontan reaksi si pelayan setelah menerima bon tagihan yang saya tandatangani adalah terlihat nesu (marah), membuang muka lalu ngeloyor pergi keluar kamar. Tanpa ucapan terima kasih, tanpa muka bersahabat, bahkan pintu kamar pun dibiarkannya terbuka dan ditinggal pergi. Inilah untuk kali yang pertama saya menerima pelayanan tidak bersahabat sejak belasan kali saya menginap di hotel itu.

Sambil tersenyum sendiri, lalu saya tutup pintu kamar dan berkata dalam hati : “Kena, deh….!”.

***

Saya yakin bahwa sebenarnya memang bukan karena ada tip atau tidak ada tip sehingga si pelayan berperilaku seperti itu. Nampaknya lebih disebabkan oleh karakter atau sikap pribadi si pelayan yang sudah telanjur “dididik oleh kebiasaan” sehingga beranggapan bahwa transaksi memberi dan menerima tip adalah ritual di hotel yang hukumnya wajib.

Seminggu kemudian saya numpang tidur dan buang hajat lagi di hotel yang sama. Kali ini pelayan yang berbeda ternyata menunjukkan penampilan lebih ramah. Setelah menyodorkan tagihan makan lalu mundur menunggu di luar pintu dengan tersenyum, padahal belum tentu saya akan memberi kelebihan pembayaran atau tidak.

Memberi tip memang perbuatan amal soleh yang baik (amal soleh ya pasti baik….), apalagi kalau diniatkan untuk berbagi rejeki atau sedekah, atau sekedar sebagai ucapan terima kasih.

Untung pengalaman di-mbesunguti (dicemberuti) pelayan ini adalah sesuatu yang saya sengaja. Kalau saja terjadinya adalah kebetulan dan tidak direncana, barangkali selanjutnya saya akan mencari tumpangan tidur dan buang hajat yang lain.

Jakarta, 15 Juli 2008
Yusuf Iskandar

Masuk Hotel, Alas Kaki Dilepas

19 Maret 2008

Namanya hotel “Mama Rina”. Menilik namanya, jelas dapat ditebak bahwa sang pemilik hotel adalah ibunya Rina. Seseorang yang bernama Rina ini ternyata memang anak ragil dari seorang ibu yang baru saja pulang haji. Sebut saja bu haji. Di sebelah kiri bagian depan hotel terpajang tulisan ucapan sambutan selamat datang yang nadanya mengelu-elukan sang pemilik hotel yang baru datang dari tanah suci. Dikatakan terpajang karena memang tulisan itu sengaja dibuat indah dan meriah yang kalau malam berhiaskan lampu byar-pet warna-warni. Nampaknya itu adalah bagian dari tradisi penyambutan orang yang pulang haji di daerah itu.

Hotel “Mama Rina” letaknya cukup strategis di tengah kota Tanah Grogot, ibukota kabupaten Pasir, Kalimantan Timur. Terjemahan mudah dari strategis adalah dekat kemana-mana. Mudah dicapai. Dekat dengan satu-satunya mal di Tanah Grogot, yaitu Kandilo Plaza. Dekat bank dan ATM-nya. Dekat masjid raya yang belum lama diresmikan yang tampak begitu wah, megah, mewah dan besarnya sak hohah…, jika dibandingkan dengan kepadatan penduduknya. Dekat alun-alun dan berada di sisi barat tugu yang sedang dibangun. Dan, yang terpenting adalah dekat dengan tempat-tempat makan.

Hotel berkelas melati ini memang lebih pas disebut hotel kelas backpacker. Tarifnya tidak terlalu mahal. Setiap pagi disediakan sarapan yang di-drop langsung di depan kamar, meskipun selama seminggu saya menginap di sana menunya sama terus, nasi kuning ditambah ayam goreng dan terik tempe kering. Sajian khas sarapan pagi di hotel milik bu haji mamanya Rina. Juga ada suguhan kopi atau teh di pagi dan sore hari. Pendeknya, begitu bangun tidur lalu membuka pintu kamar, pasti ransum pagi sudah tersaji di meja depan kamar.

Agaknya hotel ini sering menjadi tempat transit atau persinggahan para pekerja lapangan, antara lain orang-orang yang sedang melakukan survey geologi. Mereka yang berangkat pagi pulang petang. Mereka yang hanya perlu tempat untuk nggeblak melepas penat dan buang hajat, tapi memenuhi syarat.

Singkat kata, untuk sekedar persinggahan atau transit jangka pendek beranggaran sedang-sedang saja, maka inilah tempat yang pas kalau kebetulan sedang berada di kota Tanah Grogot. Namun kalau sedang dalam perjalanan bersama keluarga, rasanya kurang nyaman, kecuali kepepet. Tapi memang di Tanah Grogot ini tidak banyak pilihan hotel. Para tamu instansi pemerintah pun seringkali menyinggahi tempat ini.

***

Namun jangan kaget, meski bukan masjid, bukan rumah mewah, bukan pula kediaman priyayi, begitu naik ke lantai dua hotel milik mamanya Rina ini, di ujung atas tangga terpampang tulisan : “Alas Kaki Tolong Dilepas”. Penulisannya terkesan asal-asalan, ditulis dengan spidol hitam di atas kertas warna putih tua, maksudnya tidak lagi bersih.

Meski nadanya minta tolong, tapi siapapun yang naik ke lantai dua hotel pasti merasa berkewajiban untuk memenuhi permintaan tolong dari sang pemilik hotel. Pantas saja, lantai dua hotel yang berkarpet merah itu terlihat bersih. Meski ada juga sepatu yang nyelonong ke kamar-kamar hotel, tapi setidaknya banyak tamu hotel yang melepas sepatu atau alas kakinya di ujung tangga. Patuh, memberi pertolongan kepada sang pemilik hotel, ya bu haji ibunya Rina itu tadi.

Rupanya karena hotel ini sering dijadikan persinggahan para orang-orang lapangan, yang kalau pulang dari lapangan biasanya sepatunya kotornya minta ampun, berbalut tanah dan terkadang lempung. Belum lagi baunya. Akibatnya, karpet yang mestinya berfungsi mempercantik dan memperbersih tampilan lantai dua hotel, karuan saja jadi cepat kotor dan repot membersihkannya. Maka, ya harap maklum, kalau kemudian pemilik hotel merasa perlu memasang tulisan permintaan tolong itu. Toh, tidak sulit untuk dipenuhi. Yang penting semua tamu dan penghuninya merasa nyaman.

Yogyakarta, 17 Pebruari 2007
Yusuf Iskandar