Mengesankan…..!. Itulah ekspresi saya sambil menyelesaikan makan sahur tadi pagi, sambil mencermati pidato kekalahan John Kerry. Di depan pendukungnya di Boston, dengan sangat simpatik Kerry menyampaikan pidato kekalahannya sesaat setelah dia menilpun George Bush dan menyampaikan ucapan selamat atas kemenangan Bush dan mengakui kekalahan dirinya. Saya tidak menyangka perjuangan pasangan John Kerry – John Edwards melawan George Bush – Dick Cheney di saat kedudukan Too Close To Call akan berakhir mudah dan mengundang simpati.
Sampai tadi malam sebelum tidur saya masih membayangkan bahwa proses pemilihan presiden Amerika tahun ini akan berjalan panjang, mirip-mirip kejadian empat tahun yll. Bedanya kalau pada pemilihan presiden tahun 2000 antara pasangan George Bush melawan Al-Gore posisinya sangat ketat memperebutkan 25 jatah suara (electoral vote) dari negara bagian Florida, sedangkan tahun ini John Kerry akan melawan George Bush untuk memperebutkan 20 jatah suara negara bagian Ohio. Menjadi menegangkan karena siapapun yang menang di negara bagian tersebut, maka dialah yang akan jadi presiden.
Kita lihat apa yang terjadi di Ohio : Pada saat kedudukan jatah suara nasional sementara Bush unggul atas Kerry dengan 254 : 252, masih menyisakan 3 negara bagian (New Mexico, Iowa dan Ohio) yang belum menuntaskan perhitungan suaranya dari semua TPS yang ada. Untuk mencapai garis finish melampaui angka “ajaib” 270, jatah suara dari New Mexico dan Iowa yang masing-masing 5 dan 7 menjadi tidak urgen lagi nilainya, melainkan kedua kubu harus dapat memenangkan 20 jatah suara Ohio.
Kubu Bush begitu yakin akan kemenangannya di Ohio, sementara kubu Kerry menganggap perjuangan belum berakhir sampai hasil perhitungan akhir diumumkan. Dari jumlah kartu suara (popular vote) di Ohio, Bush memang lebih unggul sekitar 135.000 suara di atas suara yang dikumpulkan Kerry. Sementara Kerry tampaknya masih berharap keberuntungan, atau lebih tepat disebut belum mau menyerah hingga titik darah penghabisan.
Kenapa kubu Kerry ngotot? Karena di luar masih ada sekitar 250.000 suara yang belum ketahuan menjadi milik siapa. Suara di luar itu berasal dari provisional ballots dan absentee ballots. Provisional ballots adalah suara dari mereka yang sebenarnya berhak nyoblos tapi ternyata waktu pergi ke TPS namanya tidak ada dalam daftar pemilih, sehingga tidak jadi nyoblos. Suara inilah yang akan diurus oleh Kerry dengan harapan mampu mendongkrak perolehannya. Sedangkan absentee ballots adalah suara dari mereka yang sedang bertugas di luar negeri yang umumnya para anggota militer, dan suara mereka biasanya dikirimkan via pos.
Nah, dari suara yang masih di luar itulah kubu Kerry mengharapkan keajaiban untuk mampu mengungguli suara Bush. Jika hal itu terjadi, maka akan diperlukan waktu belasan hari lagi untuk menuntaskan perhitungan akhir di Ohio. Atau skenario buruknya, Kerry akan mampu mempersempit selisih kekalahan suaranya hingga kurang dari seperempat persen. Jika ini yang terjadi maka menurut peraturan di negara bagian Ohio, akan terbuka peluang untuk dilakukannya perhitungan ulang. Itulah yang terjadi di Florida, dan itulah kenapa saya membayangkan kejadiannya akan berlarut-larut seperti di Florida empat tahun lalu.
Namun, kelihatannya kemudian Kerry mencoba lebih realistis. Rasanya berat bagi kubu Demokrat untuk menguasai 250.000 suara yang masih tersisa. Para anggota militer kecenderungannya akan berada di pihak Republik. Karena itulah, demi alasan the unity (mulia sekali kedengarannya), akhirnya Kerry dengan legowo menyatakan kekalahannya. Usailah sudah drama pemilihan presiden Amerika tahun 2004 yang dimenangkan kembali oleh Gus Bush.
***
Meskipun kejadian di Ohio berpotensi untuk menjadi seperti di Florida, seperti yang saya bayangkan pada mulanya, namun sebenarnya memang tidak sedramatis di Florida empat tahun lalu sehingga waktu itu kubu Al Gore demikian gigih tidak mau menyerah begitu saja.
Bagi yang tertarik dengan peristiwa pemilu presiden di Amerika, mari kita lihat sejenak dimana beda antara yang terjadi di Ohio sekarang dibandingkan dengan yang terjadi di Florida empat tahun lalu.
Tahun 2000, pada saat kedudukan akhir sementara jatah suara nasional adalah 260 : 246 untuk keunggulan Al Gore, masih menyisakan dua negara bagian lagi yang belum selesai, yaitu Oregon dan Florida yang masing-masing dengan 7 dan 25 jatah suara (electoral vote). Jelas suara Oregon tidak lagi menentukan, melainkan suara Florida harus dikuasai jika ingin menang.
Meskipun dari total electoral vote sementara waktu itu Gore lebih unggul dan dari popular vote secara nasional Gore juga masih unggul tipis, akan tetapi di wilayah negara bagian Florida Bush justru lebih unggul atas Gore dengan selisih angka yang sangat tipis (hingga titik terendah kurang dari 400 popular vote) dan masih menyisakan absentee ballots. Dari sisi inilah makanya Bush yakin akan menguasai 25 jatah suara Florida, sementara Gore ngotot karena secara nasional dia lebih unggul. Yang terjadi kemudian adalah dua kubu yang saling tidak mau mengalah tapi juga saling melihat peluang karena peraturan perundang-undangan memang memungkinkan. Jadilah proses peradilan pemilu silih berganti dan berlarut-larut untuk menuntaskan masalah jatah suara Florida, hingga perlu waktu 36 hari sebelum akhirnya Gore menyerah.
***
Menyimak kembali pidato kekalahan John Kerry, saya jadi berandai-andai. Kalau saja bulan lalu Megawati mau melakukan hal yang sama kepada SBY, it’s beautiful…….
Sayang sekali…… Nun jauh di sana, John Kerry, atas nama the unity memilih untuk realistis dan menyampaikan pidato kekalahannya dalam emosi yang terkendali dan santai. Nun dekat di sini, Megawati, entah atas nama apa atau siapa memilih untuk dieeeeemmm aja… dalam emosi sentimentil keibuannya.
Tembagapura, 4 Nopember 2004
Yusuf Iskandar