Posts Tagged ‘muslim’

Bisnis MLM?

7 April 2010

Saya menerima SMS isinya: “Mendapatkan 5 hal melalui 5 jalan“, diakhiri dengan: “…sebarkn sms ini kpd saudara muslim minimal 7 org sja. Insya Allah 2jam kmdian akn mndngar kabar BAIK” –

Benar, bahwa siapa menebar kebaikan maka akan menuai yang lebih baik lagi, karena itu memang janji Tuhan. Tetapi, menebar kebaikan kepada minimal 7 orang dan 2 jam kemudian akan mendengar kabar baik? Ugh.., sepanjang yang saya kenal, Tuhan bukan pelaku bisnis MLM…

Yogyakarta, 7 April 2010
Yusuf Iskandar

Bocah Penyemir Sepatu Yang Bercita-cita Menjadi Pilot

11 Desember 2009

Sambil menunggu seorang teman yang akan menjemput saya di Terminal F bandara Cengkareng siang kemarin, saya memesan coffee mix di sebuah kantin kecil di dalam bandara. Sengaja saya mencari kantin yang tidak ramai dan tidak berisik agar asap rokok saya tidak menggangu banyak orang dan banyak orang tidak mengganggu kekhusyukan saya bermain-main blackberry (Lha, namanya memang blackberry, kalau saya sebut ponsel berarti saya mengatakan yang tidak sebenarnya).

Tiba-tiba datang seorang bocah penyemir sepatu menawarkan jasanya. Tawaran itu saya tolak. Namun entah kenapa kemudian saya berubah pikiran. Ada dorongan kuat dalam diri saya untuk melakukan improvisasi kecil, sekedar memberi orang lain rejeki yang halal meski saya tidak sedang membutuhkan jasanya. Jadi bukan agar sepatu saya bersih dan mengkilap yang menjadi tujuan saya. Mau setelah disemir tetap kusam pun saya tidak perduli.

Setelah menyelesaikan hasil semirannya, saya tanyakan kepada bocah penyemir itu : ”Sudah makan?”, yang kemudian dijawab bocah itu : ”Belum”. Lalu saya suruh dia duduk di sisi kanan meja di depan saya dan saya pesankan makan kepada mbak pelayan kantin. Rupanya kantin itu tidak menyediakan menu makan. Maka mie instan dalam mangkuk sterofoam pun jadilah sebagai pengganti.

Sambil anak itu melahap mie instan, saya ajak dia mengobrol. Kebiasaan mengeksplorasi sesuatu yang tidak biasa mulai saya lakukan. Ketika saya tanya namanya, dijawabnya : ”Muslim” (ditanya nama malah menjawab agama…., tapi namanya memang Muslim), Tiba-tiba saya ingat pengalaman setahun yll ketika saya mengajak sarapan pagi tiga orang bocah penyemir sepatu yang salah satunya bernama Muslim, di bandara ini juga. Saya tatap tajam-tajam wajah bocah itu hingga saya yakin ini memang Muslim yang dulu.

Ketika saya bilang bahwa setahun yll. kita pernah sarapan bersama, dia masih ingat. Bahkan ketika saya test nama kedua temannya, Muslim pun menjawab benar, yaitu Mamat (dulu saya mendengarnya Amat) dan Yudi. Saya tanya sekali lagi : ”Apa kamu masih ingat saya?”. Muslim pun menjawab : ”Ya”. Gaya bicaranya masih plengah-plengeh…. malu-malu sambil melenggak-lenggokkan kepalanya, khas seorang anak kecil ndeso.

Hanya bedanya, setahun yll. Muslim mengatakan umurnya 9 tahun dan sekolahnya kelas 3 SD, kini dia bilang umurnya 11 tahun dan kelas 5 SD. Ah, perbedaan setahun-dua yang tidak terlalu penting. Dulu Muslim mengatakan orang tuanya pengangguran, sekarang menjadi pemulung. Ini juga tidak terlalu penting, karena bisa saja setahun terakhir ini karir orang tuanya meningkat dari pengangguran menjadi pemulung. Yang penting bagi saya saat itu adalah dia memang benar Muslim yang saya jumpai setahun yll.

Komunikasi kami menjadi lebih cair, enak dan bersuasana lebih akrab, seolah dua sahabat lama yang setahun tidak berjumpa. Sampai-sampai mbak penjaga kantin pun penasaran dan kepingin tahu pembicaraan kami. Saya lirik mbak penjaga kantin berjalan mendekat ke tempat duduk kami sambil pura-pura membelakangi dan merapikan susunan minuman botol yang sebenarnya tidak banyak jumlahnya dan sudah sangat rapi (kalau sekedar mengidentifikasi gesture bahasa tubuh seorang perempuan sepertinya saya punya pengalaman…).

***

Untuk melakukan aksinya menjual jasa semir sepatu di bandara Cengkareng, hampir setiap hari sepulang sekolah Muslim naik angkot dari rumahnya menuju bandara dan akan pulang ke rumahnya lagi saat sore menjelang petang. Dulu dia naik sepeda karena sekolanya masuk siang, tapi kini menggunakan jasa angkot. Ongkos angkotnya sekali jalan Rp 3.000,- Jika rata-rata setiap hari Muslim berhasil mengumpulkan uang jasa menyemir sampai Rp 25.000,-, maka paling tidak Muslim setiap hari berhasil membawa pulang ke rumah uang sekitar Rp 19.000,-. Kalau lagi ramai, Muslim bisa mengumpulkan uang hingga Rp 50.000,- sehari. Begitu katanya.

Uang itu dikumpulkannya untuk biaya sekolah, karena menurut pengakuanya dia ingin melanjutkan sekolah ke SMP. Sebuah niat dan cita-cita jangka pendek yang sangat sederhana namun sungguh bersahaja. Ketika saya tanya apa kegiatannya kalau di rumah selain belajar? Jawabnya adalah mengaji.

”Mengajinya sudah sampai mana?”, tanya saya. ”Masih juz ’Amma”, jawabnya. ”Surat Idhazul…”, katanya lagi (yang maksudnya adalah Q.S. Zalzalah). Mendengar jawabannya itu saya menyimpulkan bahwa bocah ini pasti bersungguh-sungguh dengan mengajinya, bukan sekedar ikut-ikutan teman di kampungnya.

Pertanyaan saya masih berlanjut : ”Kamu sholat enggak?”. Jawabnya : ”Kadang-kadang”. Ketika saya desak kenapa? Jawabnya : ”Saya enggak hafal bacaannya”. Mendengar jawaban itu, naluri ’tukang kompor’ saya terusik. Lalu saya bilang : ”Lho, sholat itu tidak perlu hafalan-hafalan. Kalau kamu sholat, ikuti saja jungkar-jungkir seperti orang lain di masjid itu, terserah kamu mau baca apa bahkan enggak usah baca apa-apa, kecuali niatmu beribadah kepada Tuhan”. Muslim melongo…. Lalu saya lanjutkan : ”Setelah sholat kamu sempatkan berdoa apa saja yang kamu inginkan”.

Tentu saja nasehat saya itu saya sampaikan kepada Muslim yang memang tingkat logika berpikir dan pemahaman spiritualnya baru pada level seperti itu. Terhadap orang lain yang logika berpikirnya tentang nilai-nilai agama lebih tinggi, tentu pendekatannya berbeda. Dan perbedaan ini tidak berbanding lurus dengan usia melainkan pengalaman spiritual masing-masing.

Akhirnya saya tanya : ”Kamu punya cita-cita?”. Jawabnya : ”Punya”. ”Apa cita-citamu?”, tanya saya kemudian. ”Saya pingin jadi pilot”. Wow….dalam hati saya bertasbih kepada Allah. Sebab dalam keyakinan saya, berani bermimpi itu adalah setengah dari pencapaiannya menuju cita-citanya.

Bagi seorang ’tukang kompor’ seperti saya ini, atau bolehlah disebut provokator (asal jangan motivator, takut diundang seminar…..), pada dasarnya tidak ada cita-cita yang tidak bisa dicapai. Kalau kemudian banyak orang yang gagal mencapai cita-citanya, itu karena sejak cita-cita itu ditancapkan di ubun-ubunnya ternyata perilakunya sehari-hari sama sekali tidak mencerminkan sebagai seseorang seperti yang dicita-citakannya. Alias, sak karepe dhewe….. semaunya sendiri, tercapai ya syukur, enggak yo wis….. Tidak disertai dengan ikhtiar keras untuk mencapainya.

Akhirnya saya katakan kepada Muslim : ”Muslim, insya Allah saya akan berdoa agar kamu bisa menjadi pilot. Syaratnya hanya ada dua dan gampang, yaitu rajin belajar dan berdoa setiap habis sholat. Nanti Tuhan akan menunjukkan jalannya”. Seperti biasa, Muslim hanya nyengenges dengan mimik anak-anak banget. Provokasi saya masih berlanjut : ”Saya kepingin suatu saat nanti saya naik pesawat dari Cengkareng dan kamu yang jadi pilotnya. Kamu mau enggak?”. Sekali lagi Muslim hanya bereaksi cengengesan. ”Kamu mau enggak?”, ulang saya. Akhirnya dia menjawab malu-malu : ”Mau”.

Mengakhiri perjumpaan saya dengan Muslim, saya pegang pundak kirinya lalu saya katakan : ”Salam ke orang tuamu. Dan jangan lupa belajar dan berdoa dengan sungguh-sungguh setiap habis sholat mulai hari ini!” (maksud saya sebenarnya, untuk bisa berdoa kan berarti dia harus sholat dulu…..), sambil saya selipkan sejumlah uang lebih.

***

Ketika malam harinya saya tiba kembali ke rumah di Jogja, saya buka-buka laptop saya dan saya baca kembali catatan saya setahun yang lalu ketika pernah sarapan bersama Muslim dan teman-temannya di Cengkareng. Lho……, pandangan saya terpana seperti tidak percaya. Peristiwa setahun yang lalu itu rupanya terjadi pada tanggal 10 Desember 2008, dan pertemuan kembali dengan Muslim kemarin terjadi tanggal 10 Desember 2009. Jadi, kemarin adalah ulang tahun pertama sejak pertemua saya dengan Muslim bocah penyemir sepatu anak seorang pemulung yang sekarang bercita-cita besar menjadi seorang pilot.

Kejadiannya memang kebetulan belaka, tapi hakekat kejadian itu saya yakini pasti bukan kebetulan, pasti ada yang mengaturnya. Apa rahasia dibalik kejadian ’kebetulan’ yang saya alami itu?. Sayang sekali, meski sudah saya tinggal tidur semalam hingga ada yang membangunkan saya di pagi subuh, saya belum menemukan jawabnya kecuali bahwa tanggal 10 Desember adalah Hari Hak Asasi Manusia Sedunia.

Yogyakarta, 11 Desember 2009
Yusuf Iskandar

Catatan :
Lihat catatan lama saya : ”Sarapan Pagi Bersama Yudi, Muslim dan Amat

Bocah Penyemir Bandara Cengkareng

11 Desember 2009

Siang tadi ketemu lagi dengan bocah penyemir sepatu (Muslim, 11th, kls 5, ortunya pemulung) yang setahun yll pernah saya ajak sarapan di KFC bandara Cengkareng. Cita-citanya ingin menjadi pilot. Setelah cerita-cerita sambil makan siang, lalu saya pegang bahunya sambil saya yakinkn dia: “Saya doakan insya Allah cita-citamu akan terwujud” (dasar tukang kompor…!), tapi saya serius…

(Pengalaman sarapan pagi bersama Muslim pernah saya lakukan tepat setahun yll. Lihat catatan : “Sarapan Pagi Bersama Yudi, Muslim dan Amat”)

Jakarta, 10 Desember 2009
Yusuf Iskandar

Lebaran Sebentar Lagi

27 September 2008

Lebaran sebentar lagi.

Dengan berharap memperoleh lailatul-lebaran, maka berarti kita (yang muslim) punya peluang untuk menyempurnakan ibadah Ramadhan sebulan penuh, komplit seisi-isinya yang tak terukur nilai ibadahnya. Ya kualitasnya, ya kuantitasnya.

Tidak ada hari-hari dimana khalayak ramai (orang muslim tentunya) berebut memaksimalkan kuantitas ibadahnya, keculi di hari-hari Ramadhan. Tidak ada hari-hari dimana orang ramai-ramai seperti potong padi di sawah berlomba meraih kualitas ibadah sekuali-kualinya, selain di hari-hari Ramadhan.

Inilah hari-hari dimana malaikat Rakib (malaikat pencatata kebaikan) super sibuk nyenthangi (memberi tanda centhang.….) pada kolom ibadah dengan kode : bermutu tinggi (karena selama sebelas bulan sebelumnya ternyata mutu ibadahnya rendah terus, bahkan tekor…..). Sejak kita tidur sampai bangun sampai tidur lagi…..

Nyaris semua orang muslim sepakat (meski belum tentu menghayati), bahwa Ramadhan adalah sebuah peluang. Peluang untuk meraih bonus, mengumpulkan angka cum, menumpuk poin positif dan menutupi ketekoran. Tapi, lha wong namanya peluang, jadi ya terserah bagi siapa saja yang mau menerkamnya atau melepaskannya. Siapa cepat dia dapat? Bukan…..! Itu permainan gaya kita.

Inilah huebatnya Sang Maliki Yaumiddin (Yang menguasai hari pembalasan). Siapa saja pasti dapat. Sebab kalaupun orang se-Sidoarjo, se-Aceh atau se-Jogja semuanya cepat menangkap peluang, maka digaransi semua akan dapat balasannya bersama-sama. Sebaliknya, taruhlah semua kelelat-kelelet menangkap peluang, juga dijanjikan masih akan dapat hasilnya beramai-ramai. Horo... coba…..! Tidak ada janji yang akan selalu ditepati melainkan janji-Nya. Kita saja yang suka semaunya sendiri. Tidak mau menangkap peluang tapi nagih bonusnya terus….. Bagita (bagi rata), katanya.

Lebaran sebentar lagi.

Tapi Ramadhan lebih sebentar lagi, lagi. Hari-hari indah selama sebulan datang menjelang. “MARHABAN YA RAMADHAN”, kata teman kecil saya, Sayid Bakar namanya. “ASAUP NALUB HALITAMROH”, kata spanduk yang memasangnya terbalik di sudut perempatan kampung. Lha, yang disuruh menghormati bulan puasa itu siapa?

Wong puasa kok minta dihormati. Minta diistimewakan. Kalau begitu mah keciiil.…. (sambil menjentikkan seruas ujung jari kelingking). Kalau puasa kok minta dihormati, ya anak sekolah Taman Nak-Kannak saja mampu. ‘Gak ada tantangan! Justru nilai kualitasnya terletak karena banyaknya tantangan, godaan dan rayu-bujukan. Barangkali yang dimaksud sekedar tenggang rasa. Maksudnya : “Awas, ada orang sedang merasa lapar, tenggang dia, jangan ganggu dia…..!”.

Lebaran sebentar lagi.

Tapi hari-hari luar biasa sebentar lagi mau lewat. Karena hanya lewat, biasanya tidak berlangsung lama. Meski sebenarnya lama atau sebentarnya tergantung pada bagaimana cara menangkap yang mau lewat itu. Kalau dianggapnya sebagai “aktifitas ngoyoworo”, ya lebaran jadi luamaaa sekali…… Tapi kalau dianggapnya sebagai sebuah rahmat dan nikmat, sungguh terlalu cepat dia berlalu. Tahu-tahu sudah mau lebaran. Padahal rasanya belum banyak detik-menit-jam-hari-minggu yang telah dialokasikan untuk menggapai rahmat dan ampunan-Nya. Belum banyak waktu-waktu senggang digunakan untuk menutup nilai tekor selama sebelas bulan sebelumnya.

Lebaran sebentar lagi.

Tapi tidak banyak orang yang ngeh bahwa sebulan sebelum lebaran adalah sebuah peluang bisnis. Bisnis yang margin keuntungannya dijamin kekal bin abadi dunia wal-akhirat. Bisnis yang dijamin tidak akan pernah rugi. Bisnis yang dijamin memberikan Return on Investment ribuan bahkan jutaan persen. Nyaris dengan modal bodong. Boro-boro bermodal sarung kumel plus kupluk bolong, tidak punya dengkul pun bisa meraup yield jutaan persen. Itu kalau tahu “trik”-nya…… Namun sayang-sayang seribu kali sayang. “Trik” itu hanya bisa diperoleh kalau seseorang mau mengaji (ini bahasa kampung saya). Bahasa moderennya adalah mau melakukan kajian, mau belajar, mau berpikir, mau menyadari kebodohannya.

Lebaran sebentar lagi.

Tapi saya hanya bisa melamun, berimajinasi mewanti-wanti kepada anak-anak saya (yang sialnya tidak pernah berhasil, sebab selalu ditanggapi sambil cengengesan). Boro-boro kepada anak-anak orang lain atau orang tuanya……., anak sendiri saja syusyahnya bukan main…..

Cobalah nak…….. Saat malam pertama Ramadhan tiba, tarik napas dalam-dalam, resapi aliran udaranya. Nikmati bahwa itu adalah udara Ramadhan, yang setiap molekulnya bernilai ibadah. Kalau kau tahu…..!

Hisap aromanya, agar aroma tubuhmu adalah aroma Ramadhan. Masukkan ke dalam darah dan biarkan dia mengalir ke seluruh tubuh, agar tubuhmu adalah tubuh Ramadhan. Gerakkan ke seluruh anggota badan, agar ayunan tangan dan langkahmu adalah irama gerak Ramadhan. Rambatkan ke indera pandangan matamu, gerak bibirmu, pendengaran telingamu dan sentuhan lembut kulitmu, agar getaran inderamu adalah getaran Ramadhan.

Cobalah nak…….., untuk melakukannya malam demi malam. Tidak usah dululah melakukan yang lain-lain, melainkan menyatulah dengan aura Ramadhan. Agar nanti di malam terakhir Ramadhan kalian tidak menyesal karena tahu-tahu esok lebaran tiba. Dan kalian baru menyadari bahwa bulan super deal barusan berlalu….. Air matamu akan menetes tak terbendung bagai lumpur panas. Namun (siapa tahu) itu terlambat, karena tidak ada yang bisa menggaransi tahun depan akan berjumpa kembali dengan Ramadhan

Lebaran sebentar lagi.

Hanya rasa ikhlas menyambut kedatangan Ramadhan yang akan membedakan apakah lebaran benar-benar sebentar lagi atau masih lama. Rasa ikhlas yang mengejawantah menjadi tetesan air mata saat bersujud keharibaan-Nya, di tengah malam….. sunyi….. sepi….. sendiri…..

Rasa ikhlas yang diawali dengan kesadaran untuk saling memaafkan.

PS.
“Mohon maaf lahir dan batin”

Yogyakarta, 22 September 2006 (29 Sya’ban 1427H)
Yusuf Iskandar