Posts Tagged ‘kentucky’

Cakar Dan Tahu Kentaki

28 Juli 2010

Pulang dari toko lewat jalur lintas kawasan pedesaan, mampir di tukang gorengan. Menu gorengan di sini agak beda, ada cakar goreng yang krispi bin renyah dan tahu goreng yang kenyal-kenyal empuk. Hmm…, selalu menggairahkan dan hoenake… Orang-orang punya sebutan salah kaprah, yaitu cakar dan tahu kentaki, merujuk pada balutan tepung yang gurih dan krispi ala ayam goreng Kentucky. Tapi apalah sebuah nama, yang penting murah-meriah-renyah-rasanya wah…

Yogyakarta, 22 Juli 2010
Yusuf Iskandar

Catatan Dari Pemilu Amerika 2000 : George Bush atau Al Gore? (3)

2 November 2008

New Orleans, 7 Nopember 2000 – 17:30 CST (8 Nopember 2000 – 06:30 WIB)

Negara bagian Kentucky dan Indiana adalah dua negara bagian yang pertama kali menutup TPS-TPS-nya pada jam 06:00 sore waktu setempat atau jam 05:00 sore waktu New Orleans (Rabu, 06:00 WIB). Maka hasil pemilu pun sudah dapat diketahui dan George Bush ternyata unggul tipis atas Al Gore.

Dengan cara perhitungan winner-take-all, maka George Bush berhak mengantongi jatah suara (electoral vote) dari kedua negara bagian ini. Dengan demikian sementara George Bush sudah memperoleh 20 jatah suara (electoral vote) masing-masing 8 dan 12 dari negara bagian Kentucky dan Indiana, sedangkan Al Gore belum memperolehnya. Diperlukan minimal 270 jatah suara (electoral vote) untuk memenangi pemilihan presiden Amerika.

Ada hal yang menarik di kalangan analis politik Amerika, yaitu bahwa sejak tahun 1964 siapapun yang menang di Kentucky yang menjadi negara bagian yang pertama kali menutup TPS-nya dan menghitung suaranya, biasanya berhasil menjadi presiden terpilih. Apakah demikian yang akan terjadi dengan George Bush? Kita lihat saja nanti.

Negara bagian berikutnya yang akan menutup TPS-nya dan menghitung hasilnya pada Selasa sore jam 06:00 waktu New Orleans nanti (Rabu, 07:00 WIB) adalah Florida, Georgia, New Hampshire, South Carolina, Vermont dan Virginia.

Yusuf Iskandar

Keliling Setengah Amerika

7 Februari 2008

(5).     Pejalan Kaki Yang Dimanjakan Di Gatlinburg

Gatlinburg menjadi kota pertama yang saya temui setelah menuruni pegunungan Great Smoky, satu diantara beberapa kota pariwisata di sisi barat laut pegunungan Great Smoky. Kota yang terletak pada elevasi sekitar 400 m di atas permukaan laut ini sebenarnya hanya berpopulasi sekitar 3.400 jiwa. Tetapi kota ini populer sebagai kota cendera mata yang hampir setiap harinya dipadati oleh wisatawan, lebih-lebih dalam liburan musim panas seperti ini. Entah bagaimana kota kecil ini bisa sedemikian menjadi pilihan tempat tujuan wisata.

Ada yang menarik ketika tiba di kota kecil Gatlinburg, yang menjelang sore hari Minggu, 2 Juli 2000 itu masih sangat padat dan ramai wisatawan. Jalan utama yang membelah kota wisata ini cukup dikendalikan dengan rambu lalulintas yang memperingatkan tentang batas kecepatan maksimum 25 mil/jam (sekitar 40 km/jam). Para pengendara yang sewaktu berada di rute pegunungan tadi sama-sama melaju kencang, tiba di kota ini serta-merta mengurangi kecepatan. Tanpa perlu dilambai-lambai oleh tangannya Pak Polisi, apalagi patungnya.

Kalau ditanya kenapa mereka bisa demikian patuh kepada aturan yang ada? Saya tidak tahu persis jawabannya. Saya hanya bisa menduga-duga, kemungkinan karena tradisi lebih mudah diatur (baca : disiplin) memang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat mereka. Atau, kemungkinan lain karena mereka takut kepada disiplin penegakan aturan yang ketat. Artinya, sekali mereka melanggar aturan maka sangsi yang tidak ringan akan dikenakan kepada mereka dengan konsekuen. Kalaupun ini benar, maka ini adalah ketakutan yang edukatif.

Saya mencoba bercermin diri : Bagaimana dengan kita? Siapa takut……? Kelihatannya kita memang lebih berani. Berani bukan karena tidak takut, melainkan karena kita punya “kebiasaan” suka memperjual-belikan rasa takut. Sehingga tidak tampak lagi beda antara patuh dan tidak patuh, disiplin dan tidak disiplin. Ah, bisa jadi cermin yang saya gunakan keliru.

Setiap beberapa puluh meter di jalan utama kota Gatlinburg ini ada tempat penyeberangan jalan (zebra cross), yang di atas aspalnya ditulis dengan tulisan besar warna putih yang berbunyi “Dahulukan Pejalan Kaki”. Maka jika terlihat ada pejalan kaki yang turun dari trotoar hendak menyeberang, tidak ada alasan lain bagi setiap pengendara kendaraan yang datang dari kedua arah selain berhenti memberi kesempatan kepada pejalan kaki untuk menyeberang.

Menjadi pejalan kaki di Gatlinburg memang benar-benar dimanjakan dengan rasa aman. Untuk menjadi pejalan kaki di kota ini nampaknya tidak diperlukan ketrampilan menyeberang jalan. Kontradiktif (tanpa bermaksud membandingkan) dengan cerita kawan-kawan saya yang tinggal di Jakarta, dimana ilmu menyeberang jalan menjadi wajib dipelajari oleh kaum pendatang untuk bisa hidup selamat di Jakarta. Alih-alih mau turun dari trotoar, lha wong masih di atas trotoar saja sudah merasa tidak aman. Berebut jalan dengan para pemain tong setan yang karena tidak punya tong lalu pindah ke trotoar.

***

Setelah melewati beberapa kota wisata yang membuat kami tidak bisa melaju cepat, akhirnya kami ketemu lagi dengan jalan Interstate 40 yang menuju ke arah timur dan lalu berpindah ke Interstate 81 menuju ke arah timur laut. Di jalan bebas hambatan ini saya memberanikan diri memacu kendaraan dengan mencuri kecepatan di atas batas maksimum, agar bisa memperkecil ketertinggalan jarak dan waktu tempuh. Sebelum tiba di perbatasan dengan negara bagian Virginia, kami berbelok ke Highway 23 yang menuju ke kota Kingsport.

Kota Kingsport terletak menjelang perbatasan antara negara bagian Tennessee dan Virginia. Hari sudah mulai gelap saat saya tiba di kota ini, dan perjalanan ke arah utara dari kota ini hanya akan melalui kota-kota kecil. Ketika berhenti sebentar untuk mengisi BBM, saya minta persetujuan terutama kepada anak-anak bahwa perjalanan akan dilanjutkan sampai agak malam dan menginap dimanapun nanti kalau ketemu kota pertama yang sekiranya enak untuk diinapi. Ini karena mengingat bahwa kami semakin tertinggal dari jarak tempuh yang seharusnya bisa dicapai akibat beberapa kali jalan merayap ketika melewati jalur padat yang kurang saya perhitungkan sebelumnya.

Melaju dalam gelap di rute jalan yang relatif sepi, awalnya memang cukup mengasyikkan. Di sebelah menyebelah jalan di dataran agak tinggi tampak pemandangan kerlap-kerlip lampu-lampu rumah yang antara satu rumah dan lainnya saling berjauhan di keremangan senja hari. Sepi sekali memang. Tetapi semakin malam menjadi semakin membosankan karena tidak ada lagi pemandangan yang bisa dinikmati di wilayah paling ujung barat dari negara bagian Virginia. Negara bagian Virginia ini mempunyai nama julukan sebagai “The Old Dominion State” dengan kota Richmond sebagai ibukotanya.

Akhirnya kami tiba di kota kecil Jenkins yang berada di perbatasan antara negara bagian Virginia dan Kentucky. Dari kota ini perjalanan masih kami lanjutkan, karena melihat suasana kota yang menurut feeling kurang enak untuk disinggahi. Sekitar sejam kemudian kami lalu tiba di kota Pikeville, yang berada di wilayah negara bagian Kentucky. Kentucky adalah negara bagian kesembilan yang saya lintasi hingga hari kedua perjalanan kami, setelah sebelumnya melintasi Virginia. Negara bagian Kentucky mempunyai nama julukan “Bluegrass State” dengan ibukotanya di kota Frankfort.

Sejak dari kota Kingsport hingga Pikeville rute jalan yang kami lalui relatif mudah karena hanya mengikuti sepanjang rute Highway 23, sehingga tidak perlu bolak-balik melihat peta. Saat tiba di kota Pikeville ini waktu sudah menunjukkan lebih jam 10:00 malam. Kami lalu mencari hotel untuk menginap di pinggiran kota kecil ini setelah lebih dahulu mampir ke McDonald di downtown, sekedar mengisi perut.- (Bersambung)

Yusuf Iskandar

Keliling Setengah Amerika

7 Februari 2008

(6).     Kelok Twin Falls Yang Memabukkan

Hari masih agak pagi ketika kami meninggalkan kota Pikeville selepas jam 9:00. Hari ini hari ketiga, Senin tanggal 3 Juli 2000, kami merencanakan untuk mencapai kota Wheaton di negara bagian Maryland yang terletak di sebelah utara ibukota Washington DC. Jarak yang mesti kami tempuh hari ini cukup jauh, sekitar 511 mil (atau sekitar 818 km), akibat dari ketertinggalan jarak tempuh sejak dua hari sebelumnya.

Di saat pagi hari ini kami baru melihat lebih jelas bahwa kota kecil berpenduduk sekitar 6.300 jiwa ini terletak di celah-celah perbukitan. Untuk pengembangan kotanya, masih terlihat di sana-sini bekas pekerjaan pemindahan tanah dengan memotong lereng-lereng bukit. Dari kota ini kami melaju ke arah timur laut, dan kota Williamson di perbatasan antara negara bagian Kentucky dan West Virginia adalah kota berikutnya yang kami tuju.

Kota Williamson yang berpopulasi sekitar 4.200 jiwa ini dikenal karena adanya lembah Tug yang mempunyai banyak ladang batubara. Di kota ini saya membelok ke arah timur ke jalan Highway 52, dan memasuki wilayah negara bagian West Virginia yang ibukotanya ada di Charleston. Negara bagian ini mempunyai nama julukan sebagai “Mountain State” dan ini adalah negara bagian kesepuluh yang saya lintasi.

Rute jalan ini banyak melalui kota-kota kecil yang nampak sepi, diantaranya Vaney, Mountain View dan Gilbert yang berpopulasi hanya sekitar 2.000 – 3.000 jiwa. Namun yang mengherankan ternyata di sana ada toko agen kendaraan (dealer mobil) dan terlihat mobil-mobil baru Ford berjejer di depan toko. Entah siapa pembelinya. Pertanyaan ini timbul karena sepintas saya melihat kota ini tidak terlalu padat dan tidak juga tampak sibuk dengan aktifitas bisnis.       

Dari peta terlihat bahwa perjalanan kami pagi itu masih akan terus melalui rute-rute sepi yang cukup panjang, jalan sempit dan berkelok-kelok, melewati beberapa kota kecil serta menerobos beberapa jalan State Road guna memperpendek jarak. Oleh karena itu selain menyiapkan peta agar mudah dilihat setiap saat, saya juga mesti memperhatikan rambu petunjuk jalan agar tidak kebablasan saat harus membelok di persimpangan jalan.

Mengikuti jalan-jalan di Amerika sebenarnya tidak terlalu sulit. Pada umumnya setiap jenis jalan mempunyai nomor, bahkan terkadang jalan kerikil atau tanah tak beraspal sekalipun. Pada setiap jarak tertentu akan terpasang rambu nomor jalan serta arahnya, selain rambu batas kecepatan.

Sebagai contoh, misalnya pada jalan yang membentang arah timur – barat, maka kalau saya menuju ke timur pada setiap jarak tertentu saya akan melihat rambu nomor jalan dengan tulisan “East”, demikian sebaliknya. Di setiap persimpangan jalan juga akan terpasang rambu yang menunjukkan nomor dan arahnya masing-masing.

Dengan demikian sepanjang saya bisa membaca peta dan tahu arah, rasanya tidak akan kesasar kalau saya jeli melihat rambu-rambu. Itu sebabnya dalam perjalanan ini saya sengaja membawa peta sekomplit mungkin dan melengkapi kendaraan dengan kompas. Jika sewaktu-waktu perubahan rute perlu dilakukan, maka akan memudahkan saya untuk mencari jalan alternatif serta memperkirakan jarak tempuhnya karena di peta yang saya bawa juga tertulis jarak antara setiap persimpangan dan antara kota.

***

Setiap pagi sebelum saya memulai perjalanan, semua peta dan buku panduan wisata untuk daerah-daerah yang akan saya lalui selalu saya siapkan di sebelah kanan dan kiri tempat duduk. Bahkan karena ibunya anak-anak kurang berpengalaman dalam urusan perpetaan (maklum, karena tidak pernah ikut kuliah Perpetaan) maka saya terpaksa berdwi-fungsi : ya sopir, ya navigator. Karena itu seringkali jika menjelang tiba di daerah-daerah yang agak rumit rute jalannya, peta-peta itu sudah saya lipat sedemikian rupa lalu saya letakkan di atas pangkuan sehingga bisa sambil nyopir sambil sesekali melirik peta.

Saya sangat sadar bahwa ini memang tindakan yang tidak aman dan tidak seharusnya saya lakukan karena terlalu riskan, terutama jika berada di kawasan yang lalu lintasnya padat dan cepat. Kalau sudah demikian biasanya saya tidak mau diajak ngomong karena khawatir konsentrasi terganggu. Anak-anak pun biasanya memahami hal ini. Resiko semacam ini terkadang saya ambil demi tidak mau kehilangan waktu untuk berhenti membuka-buka peta, selain karena memang tidak diperbolehkan berhenti di sembarang tempat.

Untuk menghindari hal ini apalagi jika di saat hari sudah gelap, seringkali rute jalan yang akan saya lalui lebih dahulu sudah saya hafalkan di luar kepala, termasuk nama jalan, arah, jumlah persimpangan dan tanda-tanda fisik seperti yang biasanya ada dalam peta situasi. Layaknya siswa SMP yang sedang belajar peta buta. Dalam hal ini kompas yang terpasang di mobil sangat membantu saya dalam bernavigasi. Kebiasaan ini terutama saya lakukan ketika masuk ke jalan-jalan di dalam kota.

Demikian pula karakteristik sistem berlalu lintas selalu menjadi observasi saya setiap kali masuk ke sebuah kota. Pada umumnya setiap kota mempunyai sistem lalu lintas yang sama, tetapi seringkali setiap kota mempunyai karakteristik untuk tanda-tanda tertentu yang mudah diingat, selain rambu lalu lintas yang memang standard. Seperti misalnya warna dan bentuk tulisan, penggunaan kata-kata tertentu, lokasi pemasangannya, dsb. Ternyata ini memang menguntungkan dan sangat membantu untuk beradaptasi dalam berlalu-lintas di kota itu.

***

Setiba di pertigaan di kota Gilbert, dari Highway 52 saya berbelok ke utara ke State Road (SR) 80, selanjutnya belok ke timur ke SR 10, dan belok lagi ke arah timur laut ke SR 16, hingga masuk ke Interstate 77 di sisi barat kota Beckley. Rute panjang sejak kota Williamson hingga Beckley sejauh 115 mil (sekitar 184 km) adalah jalur melalui lereng dan celah perbukitan. Rute jalannya cukup enak dan teduh karena melewati daerah pedesaan Amerika yang rimbun dengan pepohonan.

Melewati kota-kota kecil yang sepi, yang terkadang nyaris tampak seperti kota tak berpenghuni. Badan jalannya sendiri sebenarnya tidak terlalu lebar, berkelok-kelok tajam, terutama saat menyisir lereng selatan di perbukitan kawasan hutan lindung Twin Falls.

Enaknya, meskipun sudah ada rambu batas kecepatan maksimum, pada setiap tikungan tajam selalu ada rambu bantu batas kecepatan yang dianjurkan. Maka kalaupun mau mencuri kecepatan, dari jauh sudah bisa memperkiraan kira-kira mau “mencuri berapa km/jam” agar laju kendaraan masih aman dan terkendali saat memasuki tikungan. Mengemudi menjadi lebih enak karena umumnya setiap pengemudi patuh terhadap rambu lalulintas.

Betapapun kendaraan beriringan panjang dan yang paling depan berjalan lambat misalnya, kalau di bagian tengah aspal jalan masih bertanda garis penuh warna kuning, maka tidak satupun ada yang berusaha menyalip. Tetapi begitu garis kuning pemisah lajur berubah menjadi garis putus-putus, maka mulailah kendaraan yang lebih cepat berusaha menyalip.

Saya jadi ingat kejadian beberapa tahun yang lalu, ketika sopir bis-bis jurusan Malang – Surabaya mutung (ngambek), mogok narik penumpang gara-gara Pak Polisi menerapkan aturan soal garis kuning pemisah lajur ini. Akhirnya, Pak Polisi yang kemudian mengalah, dan garis kuning tetap ada di sana, tidak dihapus. Lha ya siapa yang mau menghapus cat kuning di tengah jalan antara Malang dan Surabaya. Jadi? Aturan berlalu-lintas dibuat dan tidak untuk dipatuhi?. Saya percaya ini hanya kasus, dan tentunya tidak dapat untuk menggeneralisir.       

***

Melaju dengan kecepatan antara 45-55 mil/jam (sekitar 72-88 km/jam), melewati tikungan-tikungan tajam memang cukup mengasyikkan. Badan pun ikut meliuk-liuk berlawanan arah dengan gerakan kendaraan. Awalnya menyenangkan, tapi lama-lama anak-anak mulai protes karena duduknya jadi tidak nyaman. Semakin lama anak-anak mulai tidak terdengar suaranya, dan saya merasa semakin menikmati liukan-liukan menyusuri rute berkelok-kelok. Sekitar dua setengah jam saya habiskan melalui rute ini, hingga mendekati kota Beckley.

Menjelang masuk kota Beckley, anak laki-laki saya yang berumur 7 tahun mengeluh perutnya mual dan sakit. Wah, barulah saya sadar. Pantesan sejak tadi tidak ada suaranya, pasti karena menahan rasa tidak enak di perutnya. Rupanya mabuk kendaraan akibat jalan yang meliuk-liuk tadi. Tanpa pikir panjang, begitu terlihat ada warung McDonald, langsung saja belok dan parkir. Saat itu juga anak saya membuka pintu mobil, dan ……semua isi perutnya dimuntahkan. Bekal minyak kayu putih pun segera difungsikan. Asli lho…., sisa dari membeli di pasar Sentul Yogya dua tahun yang lalu.

Kami lalu beristirahat agak lama di daerah ini, sekalian makan siang dan mengendurkan otot-otot kaki yang tegang sejak dua setengah jam tadi bermain gas dan rem, tanpa kopling dan persneling. Seperti umumnya mobil di Amerika yang menggunakan sistem pemindah gigi otomatis. Barangkali disesuaikan dengan kebutuhan orang Amerika yang ingin serba praktis dan tidak suka repot. Kalau memang memudahkan, kenapa tidak?- (Bersambung)

Yusuf Iskandar