Posts Tagged ‘layung’

Melahap Durian Hutan

19 Maret 2008

Di wilayah Sungai Terik, kecamatan Batu Sopang, kabupaten Pasir, Kaltim, kami berhenti di pinggiran jalan raya, tepatnya di halaman rumah orang, setelah menempuh perjalanan kira-kira 50 km dari kota Tanah Grogot. Wilayah ini berada di jalur jalan Trans Kalimantan Banjarmasin – Balikpapan, atau disebut juga jalan negara atau jalan Ahmad Yani. Kira-kira berada 20 km ke arah selatan dari pertigaan kecamatan Kuaro dan kira-kira di pertengahan jalan sebelum sampai di Batu Kajang, lokasi dimana salah sebuah perusahaan besar tambang batubara berada.

Rencananya kami memang mau menyusuri pinggiran bukit atau tepian hutan di sisi barat jalan raya Batu Sopang menyeberangi Sungai Terik. Ya, jalan-jalan saja, sambil mencari dan melihat-lihat singkapan batubara. Sekedar mempraktekkan filosofi bisnis yang saya terapkan untuk mengelola “Madurejo Swalayan”. Menemukan singkapan lalu mengkaji (untuk selanjutnya kalau mungkin menggarap) potensinya. Lokasi? Jelas tidak strategis. Mana ada singkapan batubara kok di pinggir jalan dekat kampus atau kost-kostan. Karena itu, lupakan soal lokasi. Melainkan temukan singkapannya, tangkap peluangnya dan garap potensinya.

Bukan soal singkapan batubara yang ingin saya ceritakan. Biarlah itu diurusi oleh pekerja-pekerja teknis yang memang dibayar untuk bercerita tentang seluk dan beluknya batubara. Namun, di pinggir jalan itu saya melihat dua buah keranjang yang penuh berisi durian. Hmmm…., kenampakannya dan aromnya merangsang syaraf air liur. Jangankan dibayar, membayarpun kalau perlu, rasanya sudah tidak sabar lagi ingin melampiaskan gairah untuk mencicipinya.

Seperti dapat membaca pikiran orang lain, si ibu pemilik dua keranjang durian segera menawarkan harganya, Rp 170.000,- sekeranjang munjung yang katanya berisi 37 butir durian. Tidak boleh dibeli sebagian, melainkan selanjung. Lanjung adalah bahasa lokal untuk keranjang gendong, yang kalau di kampung saya disebut dunak. Tawar menawar pun terjadi, dan akhirnya disepakti harga Rp 150.000,- sekeranjang munjung, tapi tanpa keranjangnya. Lagian ya ngapain bawa-bawa keranjang durian…..

Durian hutan ini ukurannya kecil-kecil, kira-kira seukuran nanas. Butiran buah dan bijinya juga kecil-kecil dan daging buahnya tipis. Karena itu melahap banyak-banyak durian ini tidak cepat membuat nek dan kenyang. Paling-paling perut kemlakaren dan glegheken…. kekenyangan hingga tubuh malas bergerak dan bersendawa……  Aromanya tidak menyengat amat. Namun rasa manis daging lembutnya cukuplah mengobati selera untuk melahapnya.

Selain durian hutan, rupanya si ibu pemilik dua lanjung durian itu juga menjajakan buah yang nyaris persis durian. Buah ini ada dua macam, yang berwarna merah disebut layung dan yang berwarna hijau disebut krantungan. Aromanya mirip durian, tapi lebih harum menyengat. Harganya juga kurang-lebih setara dengan harga durian hutan. Untuk sekedar dicoba rasanya, bolehlah. Tapi indra penciuman dan pencecap saya tidak cocok. Terlalu nendang syaraf hidung dan syaraf lidah, maka baru mencicipi sedikit saja langsung berasa nek dan kenyang. Sayang…., tembolok cuma satu, baru diisi sedikit saja sudah kenyang. Tapi konon masyarakat setempat justru lebih menyukai layung dan krantungan daripada durian.

Layung dan krantungan ini ukurannya hampir sama dengan durian hutan dan bentuknya lebih bulat menyerupai bola. Hanya durinya lebih langsing, lebih lentur dan tidak setajam durian. Jadi kalau kejatuhan layung atau krantungan runtuh, pasti tidak akan separah kalau kejatuhan durian runtuh. Meski tetap saja harus segera dilarikan ke puskesmas terdekat….. 

Di tempat ini pula saya menemukan jenis buah yang selama ini belum pernah saya coba rasanya. Antara lain buah rambe (seperti buah kokosan) dan juga ketapi (ketika saya sebut kecapi, saya disalahkan). Yang terakhir ini saya tidak membelinya, melainkan numpang mencicipi (lebih tepatnya, minta) buah ketapi yang sedang dinikmati oleh anak dari si ibu penjual durian. Rasanya oke juga.

***

Di kawasan desa Kasungai, masih di kecamatan Batu Sopang, saya lihat ada gubuk-gubuk yang sengaja disiapkan oleh masyarakat setempat di pinggiran hutan. Bulan-bulan ini memang lagi musim buah durian. Maka kalau malam mereka yang merasa memiliki kapling bagian hutan yang ditumbuhi durian, nongkrong semalaman di gubuk-gubuk itu sambil menunggu durian jatuh. Paginya durian-durian dikumpulkan lalu diwadahi lanjung dan dijual.

    

Sehari sebelumnya, ketika kami menyusuri sungai Kasungai dan berhenti untuk jalan-jalan masuk hutan, tukang ketinting (perahu kecil bermotor) yang saya tumpangi tahu-tahu juga ikutan masuk hutan tapi ke arah yang berbeda. Rupanya sedang mencari durian hutan yang jatuh. Ketika kembali ke ketinting sudah dengan membawa beberapa butir buah durian. Giliran kami yang melahapnya di atas ketinting. Enaknya memang tidak seberapa, tapi noikmat tenan….., mungkin memang perut sudah rada lapar karena terlambat makan siang.

Dibandingkan dengan durian-durian yang lebih punya nama yang selama ini dikenal orang, durian hutan memang belum bisa diandalkan untuk bersaing. Namanya juga durian hutan, ya pasti durian yang diperoleh di hutan. Asli dan langsung dari hutan. Bukan durian hasil budi daya atau hasil petikan, melainkan yang dikumpulkan dari durian yang jatuh dari pohonnya di hutan. Atau sebut saja durian thukulan (tumbuh sendiri di hutan).

Betapa hebatnya dunia kita ini. Ternyata yang thukulan saja bisa lebih enak, sehat dan murah meriah. Sebab belum tercampur dengan bahan kimia beracun hasil rekayasa penghuni dunia, yang biasanya harga buahnya malah jadi lebih mahal. Ya karena untuk menutup harga racunnya itu….. 

Yogyakarta, 28 Pebruari 2007
Yusuf Iskandar